Hari ini, tepat 14 tahun berlalu sejak kejadian gempa bumi yang meluluhlantakkan wilayah DIY pada 27 Mei 2006 pagi. Terutama Kabupaten Bantul yang menjadi pusat kejadian gempa. Namun, dampak dan trauma tidak hanya dirasakan oleh warga Bantul.
Riando Elang Desilva (24), warga Maguwoharjo, Depok, Sleman menceritakan kembali bagaimana dahsyatnya gempa dengan skala 5,7 SR.
"Saya masih duduk dikelas 4 SD, seperti biasa sebagai siswa SD yang jarak dari rumah ke sekolah sekitar 14 km, saya harus bangun pagi dan bersiap untuk bersekolah," kata Riando mengawali cerita saat dihubungi detikcom, Rabu (27/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasanya saya bangun pukul setengah 6 pagi dan kemudian saya mandi dan menyiapkan sarapan saya sendiri," lanjutnya.
Riando mengatakan, tidak ada yang berbeda di pagi itu sebelum tiba-tiba goncangan keras menghantam seisi rumah.
"Diawali dari suara gemuruh yang saya yakin adalah suara atap rumah yang bergoyang seperti sedang ada kucing berlarian karena kebelet kawin," ungkapnya.
Seketika, Riando tidak bisa bergerak. Ini pengalaman pertamanya merasakan gempa yang dahsyat.
"Sungguh pengalaman pertama saya merasakan sekujur tubuh tidak bisa berdiri karena takut dan goncangan yang begitu keras, saya ditarik oleh ibu untuk keluar, karena panik dan tidak tau apa yang terjadi saya hanya menangis, ibu saya masih berusaha membuka pintu yang terkunci," bebernya.
Setelah berusaha cukup keras kemudian kami berhasil keluar. Di luar, kami melihat tetangga kanan kiri rumah saling memeluk," lanjutnya.
Selang beberapa saat setelah gempa berakhir, dia mengecek kondisi rumah dan tidak ada kerusakan.
Simak juga video 'Sebelum Dentuman di Jakarta, Ada Gempa M 2,4 Gunung Anak Krakatau':
"Di dalam rumah tidak ada kerusakan yang berarti, rumah saya masih berdiri tegak, hanya ada kerusakan retak-retak di sambungan dinding dan barang-barang yang berserakan," ungkapnya.
Saat gempa, ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Riando menceritakan saat itu ibunya berusaha menghubungi rumah sakit namun jaringan seluler mati.
"Bapak saya sedang dirawat di rumah sakit dengan kondisi tidak bisa berjalan karena tubuhnya digerogoti oleh diabetes yang sudah bertahun-bertahun dideritanya. Ibu saya mengajak saya, kakak, dan adek untuk menengok kondisi bapak," jelasnya.
Sesaat kemudian dia bersama keluarganya dengan satu motor ditumpangi empat orang menyusuri jalan Yogya yang terlihat tidak seperti biasanya. Banyak ambulans mondar-mandir sambil di pinggir jalan kala itu banyak bangunan yang sudah rata dengan tanah.
Pun juga ada beberapa korban luka bersimbah darah yang hanya bisa terdiam di pinggir jalan sambil menunggu ada bantuan datang.
"Sesampainya di Badran (Barat Stasiun Tugu) perasaan saya seketika berubah menjadi panik karena dari arah selatan (arah Ngabean) ada banyak orang berlari-lari sambil berteriak "Banyune wis munggah" atau artinya "Airnya sudah naik" untuk menggambarkan kondisi bahwa tsunami sudah melanda," ungkapnya.
"Bisa dibayangkan, jarak dari Badran sampai ke laut selatan lebih dari 30 km. Saya membayangkan bahwa gelombang tsunami datang dengan kecepatan tinggi dan siap menghantam siapa saja yang dilewatinya. Ditambah yang ada di pikiran saya adalah tsunami Aceh tahun 2004," tambahnya.
Kala itu dia melihat, orang-orang berlarian, ada yang tiba-tiba menumpang kendaraan umum atau ikut ke kendaraan terbuka yang mungkin dia tidak kenal siapa di dalamnya. Semua orang panik dan mencoba menggapai tempat yang lebih tinggi.
"Ibu saya terus memacu kecepatan sampai akhirnya motor terhenti di SPBU Monjali karena bensin sudah habis. Di SPBU tampak antrean panjang kendaraan walaupun sudah jelas di situ bahwa BBM sudah habis. Dengan kondisi terhimpit, kami terpaksa menuntun motor ke arah utara sambil berharap ada bensin eceran," tuturnya.
Di beberapa kios ternyata masih ada bensin eceran. Namun, saat itu karena pedagang memanfaatkan momen dengan menjual dengan harga Rp 40 ribu per liter premium.
"Tahun 2006 harga premium 4500/liter, pikir saya gila ini orang, di tengah kondisi seperti ini masih saja memanfaatkan momen. Ternyata ibu saya tidak punya uang untuk membeli bensin bahkan untuk 1 liter saja, bukan tidak bawa uang, tapi benar tidak punya uang," kenangnya.
Di persimpangan Selokan Mataram, dari arah utara SPBU Monjali arus massa dari selatan bertemu dengan arus massa dari utara. Warga di utara turun ke selatan untuk menghindari letusan Merapi yang pada saat itu memang aktivitasnya meningkat, warga dari selatan naik ke atas karena ada info soal tsunami.
Mereka yang sudah lelah kemudian berhenti duduk di pinggir trotoar jalan untuk beristirahat sambil berdoa dalam hati. Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan dengan menuntun kembali motor sambil masuk ke area Nandan, mencari salah satu rumah kenalan.
"Setelah sekian lama berputar-putar mencari rumah di saat orang lain masih berlarian ke arah utara kami menemukan rumah teman saya. Di sana kami disambut oleh orang tua teman saya yang bernama Tom," ucapnya.
Riando menceritakan, ibunya kemudian meminjam motor untuk menuju PKU Muhammadiyah Kota untuk menjenguk kondisi ayahnya.
"Akhirnya saya dan kakak adik menunggu di dalam rumah sambil mendengarkan radio Sonora FM yang terus memberikan informasi kejadian gempa bumi yang terjadi telah banyak merenggut korban jiwa terutama di daerah Bantul sambil diselingi bahwa informasi tsunami adalah kabar bohong," ungkapnya.
Dari cerita ibunya, kondisi rumah sakit mengerikan. Keramik rumah sakit banyak dipenuhi darah.
"Beliau menceritakan bahwa bapak dalam kondisi baik, walau ada beberapa luka. Ibu saya juga menceritakan betapa mengerikannya kondisi di rumah sakit saat itu, korban luka maupun tidak bernyawa banyak bergelimpangan di area rumah sakit, keramik rumah sakit dipenuhi darah," tuturnya.
"Para korban belum sempat tertangani karena mungkin tenaga medis dan ruangan yang terbatas. Apalagi RS PKU terletak di tengah kota pasti banyak dijangkau masyarakat," lanjutnya.
Dia pun mengatakan kejadian gempa 14 tahun itu menjadi panduannya dan membuatnya menekuni ilmu yang mempelajari bumi.
"Kejadian gempa tahun 2006 yang lalu menjadi guide saya untuk menelisik misteri bumi lebih dalam dengan mempelajari ilmu geofisika di UGM 8 tahun setelahnya," tutupnya.
Tagar #14TahunGempaJogja bertengger di daftar trending topic Twitter sejak pagi tadi. Pantauan detikcom hingga berita ini ditulis, tagar ini berada di urutan nomor 3 daftar trending topic Indonesia.
Salah satunya akun Polda DIY, @PoldaJogja yang mencuit, "#14TahunGempaJogja semoga kita selalu diberikan perlindungan dan kekuatan dari Tuhan YME. Aamiin."
Selain itu, Aakun BPBD DIY @Pusdalops_diy juga mencuit tentang gempa Yogyakarta 14 tahun silam.
"Memoryku!
#unboxing kali ini mengingatkan kita atas bantuan nasi kotak saat 14 th yg lalu #gempaJogja yg telah menyebabkan 4.143 meninggal dan 779.287 mengungsi.
#14TahunGempaJogja
#jogjaBangkit."