Pemerintah mulai menggaungkan istilah the new normal atau pola hidup normal versi baru. Warga bisa hidup berdamai dan berdampingan dengan pandemi COVID-19 yang belum ditemukan vaksinnya.
Namun, jika diterapkan di Jawa Timur, khususnya Surabaya, hal tersebut dinilai belum tepat. Sebab, kasus Corona terus bertambah dan rumah sakit rujukan penuh pasien.
"Kalau di Surabaya belum tepat. Surabaya dan Jatim belum tepat waktunya untuk melakukan pelonggaran. Karena rumah sakit juga penuh," jelas Ketua IDI Surabaya Brahmana Askandar saat dihubungi detikcom, Rabu (20/5/2020).
Jika melihat situasi saat ini, tambah dia, masih banyak masyarakat yang keluar dari rumah, belanja ke mal dan lainnya, penerapan new normal belum bisa. "Kalau sekarang kita masih di tengah-tengah perjuangan. Di Surabaya masih di tengah-tengah perjuangan. Jadi masih belum melandai," ujarnya.
Dia menyebut belum mengetahui kapan pandemi Corona berakhir. Namun, jika protokol new normal diterapkan, ada satu pekerjaan rumah (PR).
"Harus ditaati oleh masyarakat. Ketika protokol new normal tidak ditaati masyarakat, hasilnya tidak optimal, korban-korban akan berjatuhan," katanya.
Akan tetapi, jika new normal bisa diterapkan dengan baik, seperti menerapkan physical distancing, tidak berkerumun, hingga memakai masker, mungkin bisa saja dilakukan. Namun, fakta di lapangan, masih banyak masyarakat yang tidak patuh pada protokol Corona.
"Padahal, kalau masyarakat menerapkan betul imbauan aturan new normal, physical distancing, tidak bergerumbul, pakai masker saja masih ada yang tidak memakai dengan benar. Kita lihat masih banyak yang tidak mengindahkan," urainya.
"Jadi hati-hati dengan new normal. Protokol kesehatan new normal bagus ketika masyarakat bisa menaati dengan benar dan semua masyarakat menaati," tambahnya.
Brahmana menjelaskan sebaiknya new normal itu dilakukan saat kasus Corona di Indonesia mulai landai. "Transmisi lokal yang juga melandai," pungkasnya.