Pemerintah mengkaji pengurangan intensitas pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dalam rangka memulihkan produktivitas. Di saat yang sama, pemerintah tetap menginginkan laju infeksi COVID-19 terkendali meski PSBB dikurangi.
Penasihat Disaster Research & Response Centre (DRRC) Universitas Indonesia, Fatma Lestari, menyatakan penyelamatan jiwa harus menjadi prioritas. Ketika bencana tersebut sudah terkendali, pemerintah baru dapat beralih ke prioritas yang lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi sekarang, menurut guru besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI itu, belum ada tanda-tanda laju penularan COVID-19 mengalami pelambatan.
"Bahkan menurut studi dan prediksi dari teman-teman di FKM UI kurvanya justru sedang meningkat menuju puncak," ujarnya pada diskusi Webinar "Segitiga Virus Corona", Selasa (19/5/2020).
Sementara menurut doktor lulusan University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia, itu kebijakan mengurangi intensitas PSBB berarti membuat pencegahan dan pengendalian infeksi virus Corona di masyarakat akan menjadi longgar juga.
"Saat infeksi belum terkendali jangan gambling, jangan ambil kebijakan yang untung-untungan. Ini taruhannya nyawa," ujar Fatma.
"Jangan sampai korban tambah banyak, perkembangan ekonomi yang diharapkan tidak tercapai. Dan justru beban bertambah berat kalau semakin banyak yang terjangkit."
Karena itu, Fatma menyatakan sudah cukup kekeliruan keputusan yang diambil di masa awal COVID-19 mewabah. "Di sejumlah negara, seperti Vietnam dan Selandia Baru, prioritas pertama mereka penyelamatan jiwa. Jangan dibalik. Bisa tidak akan selesai penularannya," katanya.
Sementara itu, pakar epidemiologi penyakit infeksi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Hari Kusnanto Josef, mengatakan pemerintah harus sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan pelonggaran PSBB. Hari mengatakan jumlah kasus belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, bahkan terbilang mengalami peningkatan. Sementara itu, jumlah kematian akibat COVID-19 juga masih fluktuatif.
"Meski di Indonesia memang tidak melonjak secara drastis seperti yang terjadi di Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat," ujar guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM itu kepada detikcom, Selasa (19/5/2020).
Kalau ternyata pemerintah akhirnya memutuskan melonggarkan, Hari menyarankan perlu dirinci apa saja yang akan direlaksasi dan seperti apa prosedurnya. Misalnya jika kebijakan kerja dari rumah akhirnya ditiadakan demi kepentingan produktivitas atau sekolah kembali dibuka, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Bagaimana kesiapan tempat kerja atau sekolah untuk memfasilitasi perlindungan dari penularan penyakit COVID-19 harus diawasi," ujar doktor epidemiologi dari Yale University School of Medicine dan peraih post doctoral fellowship di Harvard University, School of Public Health, Amerika Serikat, itu.
Hari memberi pendapat bahwa produktivitas ekonomi dan pencegahan penularan tidak hitam putih berlawanan. "Kalau kita tetap bekerja atau belajar dengan prinsip 'new normal', dengan tetap memakai masker, sering cuci tangan dan jaga jarak, maka diharapkan penularan dapat dicegah. Dan tentunya pengawasan harus tetap dilakukan," katanya.
Sebelumnya, pengurangan pembatasan sosial dibicarakan dalam rapat terbatas mengenai percepatan penanggulangan COVID-19, Senin (17/5) kemarin. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan tujuan pengurangan PSBB untuk meningkatkan produktivitas. Namun di sisi lain, pemerintah tidak ingin penularan COVID-19 menjadi tidak terkendali.
"Jadi mengurangi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB dalam rangka untuk meningkatkan atau memulihkan produktivitas dan di satu sisi wabah COVID-19 tetap bisa dikendalikan, tetap ditekan hingga nanti sampai pada antiklimaksnya akan selesai terutama ketika telah ditemukan vaksin," kata Muhadjir dalam pengantarnya, Senin (17/5).