Wacana calon presiden dari arus independen kembali meramaikan hukum tata negara Indonesia. Kali ini gugatan calon presiden independen itu muncul dari Paranormal Ki Gendeng Pamungkas.
Paranormal Ki Gendeng Pamungkas mau mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 2024. Namun, hal itu bisa terhalang oleh UU Pemilu karena Ki Gendeng Pamungkas harus mendapatkan tiket dari parpol. Tak terima dengan aturan itu, Ki Gendeng menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pemohon dikenal sebagai tokoh masyarakat dari kegiatannya super natural sehingga memiliki daya intuisi yang tinggi untuk melihat calon presiden/wakil presiden dari pencalonan independen atau tidak dibatasi dari parpol atau gabungan parpol sebagaimana yang berlangsung pasca amandemen UUD 1945," kata Ki Gendeng dalam berkas permohonan yang dilansir website MK, Senin (11/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai orang yang mengaku memiliki indra keenam, ia merasakan perlu juga diberi hak mencalonkan diri sebagai capres. Apalagi capres yang diusulkan parpol/gabungan parpol akan tersandera partai pengusung sehingga akan menyulitkan dirinya dalam mengamalkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
"Niat maju menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden setelah dibukanya ruang tersebut, setelah menghitung angka kelahiran kebangkitan sejarah Indonesia tahun 1928, 1945, 1966, 1998, dan sekarang 2020," ucap Ki Gendeng.
Karena itulah, Ki Gendeng Pamungkas menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yaitu Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 22, Pasal 225 ayat 1, Pasal 226 ayat 1, Pasal 230 ayat 2, Pasal 231 ayat 1, Pasal 231 ayat 2, Pasal 231 ayat 3, Pasal 234, Pasal 236 ayat 1, Pasal 237 ayat 3, Pasal 238 ayat 1, Pasal 238 ayat 2, Pasal 269 ayat 1, Pasal 269 ayat 3, dan Pasal 427 ayat 4.
Selain itu, tahun 2020 diasumsikan Ke Gendeng ibarat seorang jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya dan akan lahir sudah masuk fase kontraksi si ibu yang mengandungnya. Maka, Ki Gendeng menilai sudah saatnya calon independen bisa jadi capres/cawapres. Pencalonan independen juga dinilai bisa jadi calon alternatif sehingga tidak terjadi kasus Pilpres 2019 yang mengerucut pada pertentangan dua kubu.
"Pemohon merasakan perpecahan cebong dan kampret yang mana menjadi terbelah dua masyarakat, sehingga hal ini telah merusak sosial sehingga tidak baik untuk keutuhan NKRI," cetus Ki Gendeng.
Ki Gendeng mencontohkan Sukarno bisa jadi presiden tanpa lewat pemilu. Begitu juga Soeharto pada 1966.
"Maka menjadi pertimbangan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pilpres dibenarkan cara dan mekanisme terjadi di luar konstitusi," pungkas Ki Gendeng.
Sementara itu terkait persoalan wacana capres independen bukan hanya muncul dari Paranormal Ki Gendeng Pamungkas. Beberapa tokoh politik juga beberapa kali kerap mengguggat terkait UU Pemilu ke MK soal capres dari arus independen alias non partai.
Salah satunya pada tahun 2008, Fadjroel Rahman juga menggugat UU Pemilu ke MK. Saat itu, Fadjroel menyerahkan kuasa kepada Taufik Basari (kini anggota DPR dari NasDem).
"Jangan hanya melalui jalur partai saja. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai kemampuan sebagai presiden, namun tidak masuk dalam lingkup partai dan terkendala dengan minimnya biaya?" ungkap Fadjroel kala itu.
Selain itu, Fadjroel mencontohkan putusan MK yang memberikan calon independen bisa berlaga di Pilkada. Sehingga, bagi dia, cukup alasan MK juga memberlakukannya di Pilpres.
"Mahkamah Konstitusi telah memberi tafsir pelaksanaan demokrasi dalam kaitannya dengan Pemilu eksekutif (di daerah melalui Pilkada) bahwa Pemilu tersebut tidak boleh menutup peluang adanya calon perseorangan karena partai politik hanyalah salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar Parpol untuk penyelenggaraan demokrasi," ujar Fadjroel.
Untuk meyakinkan MK, Fadjroel mengundang sejumlah ahli seperti Bima Arya (kini Wali Kota Bogor), Effendi Gazali, Andrianof Chaniago, dan Yudi Latif. Menurut Bima kala itu, syarat pengajuan capres melalui partai adalah diskriminasi, karena bukan syarat umum. Monopoli oleh partai-partai politik atas pengajuan seorang calon independen harus diakhiri karena hal tersebut merupakan esensial demi memperkuat demokrasi yang partisipatif.
"Masyarakat Indonesia pada umumnya menginginkan calon independen untuk Presiden. Hal tersebut disebabkan tingkat kepercayaan dalam hal pencalonan Presiden yang selama ini merupakan wewenang partai, paling rendah dibandingkan dengan lembaga lain, misalnya ormas, LSM, atau media massa," ujar ahli lainnya, Saiful Mujani waktu itu.
Rocky Gerung juga dihadirkan Fadjrel Rachman di MK waktu itu. Menurut Rocky, UU Pemilu telah mengurung kemuliaan prinsip citizenship dan seolah-olah memaksa semua orang menjadi anggota partai politik. Dengan kata lain, warga negara oleh undang-undang tersebut didiskriminasi menjadi warga negara yang berpartai politik dan warga negara yang tidak berpartai politik.
"Itu sama saja dengan perlakuan diskriminatif, dalam hal status sosial. Padahal konstitusi meletakkan warga negara dalam kedudukan sebagai primer atau imperatif sementara partai kedudukannya instrumental atau dipergunakan oleh warga negara," ucap Rocky.
Sayang, permohonan Fadjroel ditolak MK pada Februari 2009. Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 dibacakan pada 17 Februari 2009.
MK menilai ketentuan pasal ini sudah jelas baik secara tekstual maupun dengan penafsiran melalui original intent atau kehendak awal. Di mata MK kala itu, larangan capres perorangan tidak diskriminatif karena siapa saja yang memenuhi syarat demikian dapat diusulkan dan didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menjadi presiden dan/atau wakil presiden tanpa harus menjadi pengurus atau anggota partai politik.
"Bahwa diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara. Apabila warga negara yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia," kata Ketua MK Mahfud MD dalam putusa MK yang dikutip detikcom, Senin (11/5/2020).
Meski demikian, tiga hakim konstitusi, yaitu Abdul Mukhtie Fadjar-Maruarar Siahaan-Akil Mochtar- setuju dengan Fadjroel agar keran capres independen dibuka.
"Meskipun calon perseorangan perlu mendapatkan ruang dalam pemilu presiden dan wakil presiden, namun secara realistis tidak mungkin untuk Pemilu 2009 yang sudah sangat dekat waktunya. Barangkali pada Pemilu tahun 2014 atau 2019 dapat diwujudkan, sehingga pasal-pasal UU 42/2008 yang dimohonkan pengujian bersifat 'conditionally constitutional' atau 'conditionally unconstitutional', dalam arti konstitusional atau tidak konstitusionalnya bersyarat, yaitu 'konstitusional apabila memberi ruang bagi calon perseorangan' atau 'tidak konstitusional apabila tidak memberi ruang bagi calon perseorangan'," demikian pertimbangan Abdul Mukhtie Fadjar.
Maruarar Siahaan menilai dengan tidak diakomodirnya capres independen dalam Pemilu menjadi tidak konstitusional. Sebab mengesampingan hak-hak dasar warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan menjadi calon presiden dan wakil presiden secara perseorangan atau independen.
"Dengan pembatasan yang menjadi substansi pasal 8 dan pasal-pasal terkait dalam UU 42/2008, tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan tujuan dengan bobot hak dasar yang dilindungi dan dijamin dalam UUD 1945," ucap Maruarar.
Akil Mochtar sependapat dengan Abdul Mukhtie Fadjar. Menurutnya, ditolaknya permohonan Fadjroel Rachman karena pertimbangan agenda nasional pelaksanaan Pilpres tahun 2009 yang sudah sangat dekat.
"Maka pemberian ruang bagi calon presiden perseorangan harus diakomodir dalam UU 42/2008 dan dilaksanakan pada Pilpres tahun 2014," ujar Akil.
Namun, suara Mukhtie-Maruarar-Akil kalah melawan 6 hakim konstitusi lainnya yang diketuai Mahfud Md. Keenam hakim MK merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik. Pasal itu berbunyi:
Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Permohonan Fadjroel bisa saja tidak dikabulkan, dan gagal jadi Presiden RI. Tapi kini ia setiap hari ngantor di Istana Merdeka sebagai juru bicara Presiden.
Bila pada 2009 MK mengunci capres independen, apakah kini bisa dibuka? MK dalam putusan soal quick count Pemilu menyatakan konstitusi itu hidup dan berkembang. Alhasil putusan MK tidak statis, tapi dinamis. MK mencontohkan di Amerika Serikat di kasus pemisahan sekolah warna berdasarkan warna kulit di AS.
Pada 1896, MK Amerika Serikat menyatakan hal itu bukan diskriminasi atas dasar prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama). Namun pendirian itu diubah pada 1954. Supreme Court memutuskan pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit bertentangan dengan konstitusi.
Jalan panjang Ki Gendeng Pamungkas masih panjang. Permohonan baru didaftarkan. Jadwal sidang pun belum diagendakan oleh MK.