Revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) diusulkan DPR dan kini digodok di DPR. Salah satunya membahas soal usia dan periode hakim konstitusi. Bila disahkan, hakim konstitusi Saldi Isra siap-siap terbuang.
Revisi UU MK Pasal 87 huruf c RUU MK berbunyi:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun.
Apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 (enam puluh) tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila revisi UU itu disahkan, Saldi Isra akan langsung terkena implikasinya.
"Karena hanya hakim konstitusi Saldi Isra saja yang belum berusia 60 tahun (saat ini 54 tahun)," kata Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan, Konstitusi, dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Violla Reininda, dalam Diskusi 'Potensi Konflik Kepentingan di Balik Revisi UU Mahkamah Konstitusi?' yang digelar secara online oleh ICW, Rabu (6/5/2020).
Adapun yang diuntungkan dengan UU MK bila disahkan ialah hakim konstitusi yang telah dua periode tapi belum berusia 70 tahun sehingga ia bisa diperpanjang otomatis hingga usia 70 tahun.
"Contohnya hakim konstitusi Aswanto bisa ditambah hingga 70 tahun. Saat ini ia sudah dua periode. Bila (usia pensiun) diperpanjang, artinya dia menjadi hakim MK 20 tahun," ujar Violla.
Pakar hukum dari UGM Zainal Arifin Mochtar juga mengkritik proses legislasi itu. Sebab, mengubah usia dan periode hakim konstitusi tidak mempunyai alasan yang mendasar, baik filosofis, kesehatan, maupun ideologi. Salah satu alasan revisi UU MK adalah untuk menyamakan dengan pensiun hakim agung pada usia 70 tahun.
"Lucu juga. Di ujungnya iya (pensiun 70 tahun). Tapi di awalnya nggak (syarat hakim agung 45 tahun)," kata Zainal dalam kesempatan yang sama.
Menurut Zainal, hal ini menandakan DPR merasa yang paling berkuasa di negeri ini. Padahal UU haruslah bersumber dari keinginan rakyat.
"Seakan-akan pembentuk UU yang paling berkuasa di negeri ini. Rakyat harusnya yang berdaulat. Kewenangan membentuk UU boleh legislatif, tapi kedaulatan tetap di tangan rakyat," ujar Zainal.
Kini draf revisi UU MK telah sampai di Istana. Zainal meminta Presiden Joko Widodo menolak ide di atas.
"Kalau pemerintah buru-buru membahas UU MK, saya mencurigai jangan-jangan ada kepentingan pemerintah juga," beber Zainal.
Adapun mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai analisis Violla. Ia mengaku baru tahu bila ada yang bisa sampai menjabat 20 tahun dengan revisi UU MK baru.
"Itu menarik. Bisa ada yang bisa 20 tahun. Ini makin kacau," ujar Palguna.
Selain itu, Palguna menilai sudah saatnya MK menjadi tempat menguji semua peraturan, bukan hanya UU. Selama ini, peraturan di bawah UU diuji ke Mahkamah Agung (MA).
"Tinggal keberanian di MK, melalui judicial interpretation. UU jangan diartikan sebagai UU yang dibentuk presiden-DPR, tapi juga dalam arti materiil, yaitu peraturan yang mengikat semua," ucap Palguna.
(asp/gbr)