Masih Pandemi, ICW Minta Jokowi Tolak RUU MK yang Sedang Dibahas di DPR

Masih Pandemi, ICW Minta Jokowi Tolak RUU MK yang Sedang Dibahas di DPR

Yulida Medistiara - detikNews
Senin, 04 Mei 2020 17:08 WIB
Kurnia Ramadhana
Foto: Kurnia Ramadhana. (Ari Saputra/detikcom).
Jakarta -

RUU Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi prioritas untuk disahkan DPR. Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta agar Presiden Joko Widodo menolak revisi UU MK tersebut dan berfokus terhadap upaya menangani pandemi virus Corona (COVID-19).

"Saat ini DPR sedang berencana merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Perubahan merupakan inisiasi dari DPR. Bahkan, sempat tersiar kabar naskah revisi UU MK ini sudah berada di tangan Presiden Joko Widodo. Mengingat situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi COVID-19, sudah selayaknya Presiden menolak pembahasan RUU kontroversial ini," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam pernyataan tertulisnya, Senin (4/5/2020).

Kurnia, bersama Koalisi Save Mahkamah Konstitusi, menilai pembahasan revisi UU MK ini tidak mendesak sehingga patut dibatalkan. Selain itu, revisi UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020, sehingga tidak bisa dibahas tahun ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, data per 1 Mei 2020 setidaknya 10.551 orang sudah positif terdampak pandemi COVID-19. Kurnia meminta DPR turut fokus menangani pandemi COVID-19.

"Untuk itu, yang semestinya dilakukan DPR adalah mengarahkan segala fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat tersebut, bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial," kata dia.

ADVERTISEMENT

Koalisi Save MK ini berpendapat perubahan pada RUU tersebut dinilai syarat akan konflik kepentingan. Kurnia khawatir perubahan tersebut akan menguntungkan pihak tertentu.

"Dalam RUU perubahan ini dapat dikatakan sangat kental akan nuansa konflik kepentingan, baik itu bagi DPR atau pun Presiden itu sendiri. Sebab saat ini MK sedang menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dihujani banyak kritik," tuturnya.

"Sedangkan jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian 'tukar guling' antara DPR, Presiden, dan MK," sambung Kurnia.

Koalisi Save MK yang anggotanya terdiri dari ICW, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti beberapa pasal perubahan pada RUU MK.

Kurnia menilai poin-poin perubahan dalam Revisi UU MK ini dianggap tak mengatur substansi penting bagi kelembagaan MK. Karena pada revisi UU MK itu menyoal masa jabatan Hakim MK, di mana sebelumnya minimal usia Hakim Konstitusi 47 tahun diubah menjadi 60 tahun.

Koalisi Save MK ini berpendapat, bila dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya, yaitu Mahkamah Agung, syarat menjadi Hakim Agung adalah berusia 45 tahun. Sedangkan dalam RUU MK syarat usia Hakim Konstitusi adalah 60 tahun.

Tak hanya itu, tren di banyak negara, rata-rata pengaturan mengenai minimal usia hakim konstitusi ada di 35-45 tahun. Sementara usia 65-75 tahun justru usia untuk pensiun.

"Lagi pun untuk mengukur integritas dan kapabilitas tidak bisa hanya mengandalkan usia seseorang. Akan lebih baik jika poin perubahan terletak pada syarat kualitas dari seorang Hakim MK," terang Kurnia.

Kurnia juga mempertanyakan pelibatan partisipasi publik dan MK dalam pembahasan revisi UU MK tersebut. Justru menurutnya, hal ini melanggar ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan, yang mana menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.

"Untuk itu, melihat persoalan di atas maka Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak membahas perubahan UU MK dan DPR menghentikan proses legislasi yang tidak berkualitas dan produktif serta fokus pada penanganan pandemi COVID-19 beserta dampaknya," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, DPR menggelar rapat paripurna di kompleks Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Rapat juga disiarkan secara live melalui akun YouTube DPR RI dan dapat diikuti anggota Dewan secara virtual.

Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan didampingi oleh Rahmat Gobel. Dalam rapat itu diputuskan DPR dan pemerintah melanjutkan pembahasan sejumlah RUU, termasuk RUU yang sempat menjadi kontroversi.

"Selanjutnya, persetujuan terhadap tindak lanjut pembahasan RUU Pemasyarakatan dan dalam hal ini RUU KUHP kami telah menerima dan koordinasi dengan pimpinan Komisi III dan kami menunggu tindak lanjut dari pimpinan Komisi III yang meminta waktu 1 pekan dalam rangka pengesahan untuk dibawa ke tingkat 2, karena pembentukan UU dan Tatib, ASN dan MK telah kami sepakati dan setujui siang hari ini," kata Azis.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads