Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung mengabulkan eksepsi Kementerian Agama berkaitan sengketa lahan di Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Proyek pembangunan kampus itu dilanjutkan.
Dikabulkannya eksepsi itu berdasarkan putusan sela yang dikeluarkan hakim PTUN Bandung atas perkara pertanahan dengan nomor perkara 137/G/2019/PTUN.BDG. Perkara itu digugat oleh warga atau penggarap yang tergabung dalam Badan Musyawarah Warga Penghuni Tanah Verponding Seluruh Indonesia (BMPTVSI) pada 11 Desember 2019.
Baca juga: Kampus UIII Mulai Beroperasi September 2020 |
Sidang berjalan hingga akhirnya pihak UIII selaku intervensi I dan Kementerian Agama (Kemenag) selaku intervensi II melakukan eksepsi. Hakim lalu membuat putusan sela yang isinya mengabulkan eksepsi dari Kemenag. Dengan putusan tersebut, gugatan penggugat tidak diterima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Arskal Salim mengaku bersyukur atas putusan dari majelis hakim PTUN Bandung. Menurutnya, putusan itu akan berdampak pada kelanjutan proyek pembangunan UIII.
"Putusan sangat melegakan, khususnya proyek strategis nasional UIII diteruskan. Memang tidak ada penghentian karena sudah yakin ini tanah milik negara yang diberikan ke Kementerian Agama untuk proses UIII," ucap Arskal dalam konferensi pers secara online pada Kamis (30/4/2020).
Arskal menuturkan dengan adanya putusan tersebut, secara otomatis semakin meyakinkan bahwa lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan UIII memang sah milik Kemenag.
"Kalau kami melihat dari bacaan-bacaan dalil, yang termasuk dalam putusan bahwa ini adalah sebuah pengesahan, validasi memperkuat bahwa Kementerian Agama memiliki hak mutlak dalam menguasai maupun membangun proyek strategis nasional di atas tanah di Cimanggis, Depok tersebut," tuturnya.
"Dalam kaitan itu sebagai pemegang hak kepemilikan pengguna tanah tersebut, Kementerian Agama ingin memastikan bahwa tidak ada lagi pihak yang mencoba-coba menguasai tanah, menghentikan proses pekerjaan di lapangan. Karena kami tidak segan-segan menindaklanjuti proses hukum. Karena itu, kami imbau semua pihak menghormati putusan yang jelas-jelas menolak gugatan," Arskal menambahkan.
Kuasa hukum Kemenag, Misrad, menuturkan ada beberapa pertimbangan majelis hakim yang akhirnya menerima eksepsi dari Kemenag dan menolak gugatan penggarap. Dia menyebut berdasarkan pertimbangan hakim, gugatan itu harus diselesaikan dahulu di pengadilan negeri untuk menentukan status keabsahan pemilik lahan.
"Putusan eksepsi pertimbangan hakim yang mencolok ke situ bahwa gugatan ini materi bukan mengenai administratif, tapi mengenai kepemilikan, mengenai hak mereka terhadap tanah tersebut. Oleh karena itu, majelis hakim berpendapat kalau itu (hak kepemilikan tanah) yang dimaksud, bukan kewenangan majelis tata usaha negara untuk menghakimi," tuturnya.
"Kewenangan pengadilan negeri yang akan memutuskan apakah mereka berhak, apakah mereka sah sebagai penggarap atau tidak. Itu dulu yang harus dibuktikan oleh penggugat. Sehingga kewenangan itu ada di pengadilan negeri, bukan pengadilan tata usaha negara," kata Misrad menambahkan saat konferensi pers yang sama.
Misrad juga menyampaikan pertimbangan lainnya. Menurut dia, pihak penggugat tidak memiliki legal standing yang jelas, salah satunya soal kepemilikan identitas penduduk.
"Bahwa legal standing mereka apa? Karena mereka pada umumnya tidak memiliki KTP di situ. Mereka berada di tempat lain secara administratif, tapi mereka mengklaim di atas tanah tersebut mereka punya hak sebagai penggarap," kata dia.
Selain itu, menurut Misrad, area yang digugat juga tidak jelas. Penggugat, ia melanjutkan, hanya menggugat 33 hektare lahan dari total 142 hektare.
"Area yang digugat mereka hanya 33 hektare dengan penggugat 226 orang mengklaim sebagian kecil luas tanah seluruhnya 142 hektare. Namun yang persoalannya bagaimana yang mereka gugat itu. Dari sekian luasan, tidak jelas gugatan mereka itu. Untuk memperjelas itu, mereka harus mengajukan ke pengadilan negeri yang berwenang untuk menentukan hak mereka apakah berhak atau tidak," tuturnya.
Misrad menambahkan dasar hukum pihak penggugat juga masih jadi tanda tanya. Bukti bahwa mereka merupakan penggarap belum jelas.
"Apakah mereka itu punya dasar hukum? Bukti penggarap mereka hanya pernyataan sepihak. Mereka tidak punya legalitas, katakan dari kelurahan, RT-RW yang menyatakan mereka penggarap. Yang namanya penggarap itu, definisi kita orang yang menggarap di tanah orang," ucapnya.
"Nah menggarap di tanah orang itu apakah pihak berwenang yang memiliki hak pernah memiliki hak untuk menggarap? Nah, hal itulah kewenangan pengadilan negeri yang harus diputus terlebih dahulu. Makanya dengan hal seperti itu majelis akan mudah menyatakan gugatan tidak dapat diterima," ujar Misrad.