Gaya baru KPK 'memamerkan' tersangka saat konferensi pers jadi pembicaraan di rapat kerja Komisi III dengan lembaga antirasuah itu. Anggota Komisi III Arsul Sani mengingatkan ada asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan Indonesia.
Arsul awalnya berbicara soal kerja senyap yang digaungkan Ketua KPK Firli Bahuri. Ini terkait penangkapan dua tersangka dalam kasus suap proyek di Dinas PUPR Muara Enim yang dilakukan tanpa pengumuman penetapan tersangka lebih dulu. KPK mendapat apresiasi.
"Saya melihat apa yang dilakukan pimpinan KPK itulah yang benar. Itu lebih mendekati pada asas peradilan pidana cepat, murah dan sederhana. Coba kalau dibayangkan, mengumumkan seorang tersangka dan kemudian tidak dilakukan proses hukum bertahun-tahun, saya kira ada tersangka yang sudah 5 tahun dan belum jelas proses hukumnya. Buat saya siapapun yang jadi praktisi hukum, itu merupakan pelanggaran serius dalam sistem peradilan kita," kata Arsul dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan KPK yang disiarkan langsung di Youtube, Rabu (29/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika bapak tidak mengumumkan dan menyampaikan seorang tersangka dan proses hukumnya segera dimulai, itu justru yang benar," sambung Sekjen PPP itu.
Meski begitu, Arsul memberikan catatan terkait cara KPK mengumumkan tersangka. Berbeda dari sebelumnya, pengumuman terbaru yang dilakukan KPK dilakukan dengan cara menghadirkan tersangka.
"Mohon maaf saya beri catatan, terkait kehadiran tersangka, karena itu menimbulkan pertanyaan tidakkah itu juga merupakan dalam tanda kutip melanggar presumption of innocence. Sistem peradilan kita bersandar pada asas praduga tak bersalah, bukan praduga bersalah. Karena itu saya mohon ini bisa dipertimbangkan kembali soal kehadiran tersangka," sebut Arsul.
Menurutnya, hal yang sama juga disampaikan kepada Kapolri Jenderal Idham Aziz saat Komisi III Raker dengan Polri. Cara-cara mengekspos tersangka yang berlebihan, kata Arsul, dapat mencederai asas hukum di Indonesia.
"Ini juga saya kritisi saat rapat kerja dengan Pak Kapolri di ruangan ini juga. Pada saat itu kebetulan Polri menayangkan dengan begitu masif istri dari hakim yang membunuh suaminya sendiri. Buat saya itu agak melanggar asas praduga tak bersalah. Apalagi ketika humasnya seolah-olah sudah yakin betul dia lah pembunuhnya," tuturnya.
"Ini menurut saya harus diperbaiki. Ketegasan dalam menghadapi kasus korupsi tidak harus juga dengan melanggar prinsip-prinsip hukum yang sudah universal yang sudah kita akui bersama," sambung Arsul.
Seperti diketahui, ada yang berbeda dalam penyelenggaraan konferensi pers di KPK baru-baru ini. Di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, KPK 'memamerkan' tersangka demi mewujudkan efek jera.
Adalah konferensi pers pada Senin (27/4) lalu yang dimaksud dengan gaya berbeda ini. Konferensi pers berlangsung virtual menampilkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama Deputi Penindakan KPK Karyoto dan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Tampak dua tersangka yang dihadirkan mengenakan rompi oranye tahanan KPK di belakang Alexander Cs. Wajah keduanya tak diperlihatkan. Dua orang itu tampak menunduk dengan posisi membelakangi kamera sehingga hanya punggung mereka yang 'dipamerkan'.
Dua orang yang telah berstatus tersangka itu adalah Ketua DPRD Muara Enim atas nama Aries HB dan Plt Kadis PUPR Muara Enim atas nama Ramlan Suryadi. KPK menyebut proses penyidikan terhadap kedua tersangka ini dilakukan sejak 3 Maret 2019. Kasus ini pengembangan dalam kasus korupsi yang menjerat Bupati Muara Enim nonaktif Ahmad Yani.
KPK menduga Aries dan Ramlan turut menerima uang dari pengusaha Robi Okta Fahlefi, yang saat ini sudah divonis 3 tahun penjara dalam kasus ini. Aries diduga menerima uang sebesar Rp 3,031 miliar, sedangkan Ramlan diduga juga menerima uang dari Robi sebesar Rp 1,115 miliar dan telepon seluler merek Samsung Note 10.
Soal gaya KPK yang 'memamerkan' para tersangka di konferensi pers, Ketua KPK Firli Bahuri memberi penjelasan akan kebijakannya itu. Menurutnya, ini terkait dengan masalah keadilan. Selain itu juga, ia berharap pengumuman dengan 'memamerkan' tersangka dapat menimbulkan efek jera.
"Juga memberikan efek jera kepada masyarakat supaya tidak melakukan korupsi. Masyarakat harus tenang, tidak boleh dibuat was-was, apalagi gaduh," ungkap Firli, Selasa (28/4).