Pandemi dan Kognisi Sosial Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi dan Kognisi Sosial Kita

Rabu, 29 Apr 2020 12:00 WIB
Ahmad Fadly
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diterapkan Jumat (10/4) ini di Jakarta. Pembatasan itu juga berlaku pada transportasi publik di ibu kota.
Pembatasan penumpang di transportasi publik (Foto: Antara)
Jakarta - Beragam asumsi muncul seiring semakin meluasnya pandemi Covid-19. Mulai dari dampaknya pada tatanan ekonomi, sosial budaya, hukum, hingga cara beragama. Bermacam ekses pandemi pada dunia industri, aturan perundang-undangan, bahkan ijtihad mengenai ibadah berjamaah pada kondisi darurat melandasi asumsi yang bervariasi itu.

Ada yang memprediksi Indonesia menjadi episentrum baru di wilayah Asia Tenggara sehingga kapitalisme di negara-negara ini akan runtuh dan digantikan (kembali) oleh kepemilikan negara (sosialisme). Sebaliknya, ada yang meyakini besarnya modal kultural masyarakat dengan kebiasaan berwudunya akan menangkal virus itu dengan cepat.

Di tengah aneka anggapan itu, satu hal yang niscaya terjadi ialah adaptasi kultural. Masyarakat kita akan mengalami penyesuaian moda budaya: dari langsung menuju tidak langsung. Sulit rasanya bagi masyarakat Indonesia yang berciri budaya kolektif harus beradaptasi dengan kondisi isolatif seperti saat ini.

Kebiasaan berkegiatan secara bersama --yang telah bertransformasi menjadi memori kolektif dan terkristalisasi menjadi ideologi-- harus dilarang dan diterapkan kondisi oposisinya: karantina. Anjuran-anjuran mobilisasi yang selama ini dengan mudah diiyakan tiba-tiba diartikulasikan sebaliknya: imobilisasi. Akhirnya, tradisi salam, sapa, dan salim (bersalaman dengan cium tangan) mesti tercerabut dari akar budaya.

Keengganan untuk beranjak dari kenyamanan ruang komunal (kolektivisme) menuju tempat keterasingan (individualisme) pun terbukti. Imbauan pemerintah di awal masa pandemi untuk belajar di rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah diabaikan. Masyarakat kita masih "berkeliaran" ke sana kemari. Kita perlu pahami, memang banyak di antara mereka yang masih harus memenuhi kebutuhan dengan mencari penghasilan di luar rumah.

Ketidaksiapan pemerintah dalam menjamin kebutuhan pokok mereka juga menjadi variabel yang patut dipertimbangkan. Tetapi, tidak jarang ditemukan sekelompok warga yang berkumpul dengan tujuan sebatas "kongkow-kongkow", memenuhi kebutuhan kultural kolektifnya. Bahkan, pengalihan tradisi solider ke soliter dinilai mengancam eksistensinya. Resistensi sebagai responsnya pun dapat diperkirakan.

Pemborongan sembako (terutama oleh kelas masyarakat menengah) terjadi di berbagai tempat. Kelangkaan bahan pangan menjadi dampaknya. Ketakutan akan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diakali dengan "mencuri start" waktu mudik agar dapat segera berkumpul bersama keluarga. Mereka berbodong-bondong "mengamankan" budaya komunal.

Alih Moda

Wabah pandemik ini, suka ataupun tidak, mengalihkan moda budaya masyarakat kita dari yang bersifat langsung (tatap muka) menjadi tak langsung (dunia maya). Dampaknya, kolektivitas bermigrasi ke ruang virtual itu. Dalam sekejap, dunia maya penuh sesak dengan ekspresi linguistik seiring berjubelnya "penghuni lama" dan baru. Informasi tergelontor secara masif dari pelbagai arah yang seringkali memicu amarah.

Tingginya intensitas informasi tidak serta merta berarti kuatnya budaya literasi, sebagaimana terjadi pada zaman embah-embah kita dulu. Rendahnya literasi tercermin pada maraknya hoaks perihal Covid-19 --tercatat oleh Mafindo setidaknya 301 hoaks soal Corona pada Sabtu (18/4)-- yang tersebar. Ini merepresentasikan bahwa masyarakat umumnya masih pada tahap berpikir imitatif, belum kritis. Pada fase ini, budaya sapa dan salam terpojok, budaya salim tergantikan oleh budaya salin.

Suatu tulisan yang disebarkan (posted) di dunia maya sangat mudah disalin rekat (copy paste) dan disebarkan ke "kelompok sosial" lain atau minimal dipercaya begitu saja (taken for granted). Keluh kesah mahasiswa tentang banyaknya tugas yang harus mereka kerjakan selama belajar di rumah dengan cepat menyebar. Barangkali sebagian penyebar mengungkap yang dirasakannya. Pembaca tertentu merasakan "nasib" yang sama sehingga ikut menyebarkan kembali.

Namun, tidak jarang pula penyebar yang mendistribusikan kembali secara virtual, seolah-olah mengalami penderitaan yang sama. Latah yang menjadi fenomena sosial masyarakat Indonesia menjangkiti media sosial (medsos). Masalahnya, seringkali tanpa penyelidikan investigatif masyarakat mudah "termakan" isu di medsos. Pendapat asumtif dan terkadang tendensius ditelan bulat-bulat sehingga dinilai sebagai kebenaran. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu demi meraup keuntungan politis.

Dengan memancing di "keruhnya" medsos, mereka mengharapkan mendapatkan simpati atau menggalang kekaguman pada politisi. Sebaliknya, ujaran kebencian diembuskan ke masyarakat kita untuk membidik lawan politiknya. Tanpa penjaring (apalagi penyaring), masyarakat kita mudah disetir pikirannya guna keuntungan politik praktis. Beragam wacana yang menguasai medsos pada akhirnya didominasi oleh pertarungan politisi, bukan pertarungan gagasan politik.

Para politisi mengalihkan pertarungannya ke medsos di tengah pandemi ini dengan sebab efisiensi biaya. Atribut partai sementara waktu ditanggalkan, mengingat bahwa saat ini aksi partai politik dinilai kurang dalam merespons pandemi ini. Barangkali masih jauhnya masa pemilu menjadi pertimbangannya. Tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan oleh pihak berseberangan politik dicurigai. Akhirnya, interaksi di medsos seringkali kontraproduktif dengan upaya penanggulangan pandemi.

Etika kesantunan yang selama ini dijunjung tinggi dalam berinteraksi semakin tampak memudar seiring tingginya intensitas kehidupan sosial melalui medsos. Banyak orang yang semula lebih banyak menahan bicara, kini tak mampu lagi menjaga "jarinya". Mereka yang awalnya menyembunyikan maksud dari perkataannya mendadak mengumbar "rahasia dapurnya". Profil tidak asli pada akun medsos terkadang dijadikan topeng untuk menyembunyikan identitasnya.

Beralihnya budaya langsung menuju tidak langsung tidak lantas mengubah kognisi masyarakat Indonesia. Mereka terjebak di tengah rimba virtual, ada yang terpeleset ke jurang sehingga menarik segala yang dapat diraihnya, ada pula yang sudah masuk sungai sehingga terseret arus deras. Kenyataan itu mengisyaratkan bahwa literasi media selayaknya diiringi akses dan pembiasaan buku teks serta literatur.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads