Beberapa waktu lalu, di grup-grup WhatsApp buku elektronik (e-book) berformat PDF yang marak beredar tanpa sepengetahuan para penciptanya. Melihat fenomena ini, Kepala Subdirektorat Pelayanan Hukum Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Agung Damarsasongko menyatakan tindakan ini merupakan pelanggaran baru di era digital sekarang.
"Ya sebetulnya kalau terkait dengan digital memang sebenarnya ada beberapa bentuk pelanggaran yang baru yang disebut dengan indirect infringement," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (20/4/2020).
Hal ini tentu menimbulkan keresahan di kalangan pencipta. Karena untuk menghasilkan karya tulis, penulis membutuhkan waktu dan proses yang tidak mudah. Untuk sampai ke tangan pembaca, sebuah buku tentu melibatkan banyak orang, mulai dari penulis, editor, ilustrator, desainer, percetakan, distributor dan kemudian dijual di toko buku atau via daring.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, saat membaca buku bajakan artinya pembaca tidak menghargai karya orang lain, dan memutus rezeki semua yang terlibat dalam penerbitan buku tersebut. Agung menjelaskan, indirect infringement adalah pelanggaran secara tidak langsung yang mana pelanggar secara tidak langsung melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan mendistribusikan antara teman dengan teman.
"Kadang-kadang dia minta uang dulu, nanti kamu saya kasih deh copy-annya, tapi kamu ganti uang saya sebagai pengganti usaha saya men-scan buku tersebut. Atau ada yang mengemasnya dengan menjual buku-buku itu ke dalam bentuk flashdisk," ujarnya.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) Pasal 40 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa buku dan semua karya tulis lainnya adalah ciptaan yang dilindungi. e-book sebagai karya tulis juga termasuk ciptaan yang dilindungi, yang perlindungan hak ciptanya sama dengan buku yang dicetak.
Peredaran e-book di grup WhatsApp dapat dikatakan ilegal apabila seseorang menggandakan dan menyebarkannya tanpa adanya izin dari Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta. Namun jika PDF tersebut merupakan bonus buku dari pembelian buku cetak misalnya, maka PDF itu dikatakan legal.
"Dikatakan ilegal adalah kalau dia mengambil buku-buku tadi terus kemudian dia jual dan didistribusikan melalui jaringan digital atau melalui jaringan internet, nah itu baru bisa dikatakan pelanggaran," paparnya.
Adapun ancaman dari pelanggaran tersebut adalah pidana, karena di dalam UU Hak Cipta dijelaskan mengenai adanya hak ekonomi dari seseorang atau pemegang hak cipta itu, dan adanya pendistribusian dalam bentuk yang sifatnya elektronik maupun nonelektronik.
"Jadi bisa menjual secara online atau menjual mendistribusikan secara WhatsApp ke WhatsApp atau mungkin dikirim melalui email. Tentunya ada nilai komersialnya yang diberikan, bisa dikatakan pelanggaran," jelasnya.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UUHC yang menyebutkan bahwa Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Termasuk penerbitan Ciptaan, pendistribusian Ciptaan atau salinannya, dan penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya.
Agung mengimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati saat mendapat edaran e-book agar tidak melanggar hak cipta, serta memperhatikan dampak yang ditimbulkan apabila mendapatkan buku secara ilegal.
Ia juga menjelaskan agar masyarakat untuk memastikan buku-buku tersebut adalah buku-buku yang memang bebas diakses. Saat ada penawaran-penawaran buku gratis, pastikan untuk memperhatikan terlebih dulu, apakah buku tersebut sudah menjadi public domain atau buku itu memang boleh dibagikan secara gratis seperti buku-buku yang tergabung di dalam creative commons sepanjang tidak merubah nama pencipta ataupun isinya.
"Artinya untuk menghargai pencipta buku atau pemegang hak, kita tentunya harus memiliki komitmen untuk mendapatkan buku-buku yang secara legal," imbaunya.
Dalam penegakan hukum, dalam hal ini harus ada keaktifan dari pencipta maupun penerbit untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang atau pihak berwajib bila mendapati pelanggaran hak cipta. Aduan tersebut bisa disampaikan kepada DJKI KemenkumHAM melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa KI ataupun pihak Kepolisian RI. Dengan membeli buku yang legal, berarti masyarakat turut mendukung para pencipta untuk terus berkarya, terlebih di saat keadaan krisis seperti ini.
Namun, beberapa seniman dan penulis ada yang telah memberikan izin agar karya mereka dapat digunakan secara gratis, seperti halnya penulis J.K Rowling. Ia telah mengizinkan guru untuk menggunakan audio book Harry Potter untuk didengarkan secara gratis sampai Juli 2020. Sementara itu, beberapa artis Indonesia dan luar negeri ada juga yang telah melakukan konser dari rumah untuk menggalang donasi atau sekadar hiburan bagi masyarakat yang membutuhkan.
(mul/mpr)