Meski dunia sudah dilanda pandemi virus Corona, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak melarang dua jenis mudik. Pertama, mudik karena alasan ekonomi, dan kedua, mudik karena alasan tradisi. Pakar ilmu kemasyarakatan menilai Jokowi perlu melarang mudik jenis kedua itu.
"Menurut saya, masalah tradisi, dilarang saja. Yang perlu dipikir adalah mudik karena alasan ekonomi. Namun, kalau mudik karena masalah tradisi, potong saja," kata sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Imam Budidarmawan Prasodjo, kepada detikcom, Selasa (14/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivitas pulang kampung yang rutin diadakan tiap tahun bisa berbahaya bila tetap dilaksanakan di masa bencana nasional COVID-19 ini. Arus mudik akan meluncur deras dari arah Jakarta ke provinsi-provinsi lainnya, padahal Jakarta adalah episentrum COVID-19. Risiko penularan wabah bisa sangat nyata dan masuk akal. Penyakit dari Ibu Kota bisa tersebar sampai ke desa-desa lewat mudik lebaran.
"Tradisi sungkeman tiap lebaran bisa diatasi. Ini bukan basic need (kebutuhan dasar) yang membuat masyarakat tidak punya pilihan hidup atau mati. Tradisi seperti itu bisa ditunda. Halal bihalal bisa ditunda kalau situasinya seperti sekarang," tutur Imam.
Imam membandingkan penghargaan nilai masyarakat terhadap tradisi dan terhadap agama. Di masyarakat religius, nilai agama dijunjung tinggi. Namun demikian, di situasi yang tak lumrah seperti sekarang, ada keringanan-keringanan yang bisa diambil. Salat Jumat yang seharusnya dilakukan bersama-sama di masjdi bisa diganti dengan salat zuhur di rumah masing-masing orang muslim, misalnya. Untuk nilai tradisi, semestinya juga perlu ada penyesuaian yang bisa diterapkan.
"Ini tinggal kalkulasi kita sebagai bangsa waras. Ini ada marabahaya. Kalau bandel juga secara kolektif (masyarakat tetap mudik karena tradisi), dan kemudian terjadi wabah yang lebih meluas, negara lain mungkin akan menonton ini sebagai kedunguan kolektif," ujar Imam.
Tonton video Jokowi: Ada Kelompok Pemudik yang Tidak Bisa Begitu Saja Kita Larang:
Lain pemudik dengan alasan tradisi, lain pula pemudik dengan alasan ekonomi. Pemudik dengan alasan ekonomi sulit dilarang. Dia yakin, Presiden Jokowi sudah menghitung penanggulangan dampak ekonomi terhadap mereka-mereka yang terpaksa mudik untuk menyelamatkan diri dari beratnya tekanan ekonomi di Ibu Kota.
"Karena di Jakarta dan kota besar kalau dia tidak ada pekerjaan, penghasilan harian, maka bagaimana mereka bisa bertahan dalam situasi kayak gini?" tutur Imam.
Ada ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di Jakarta. Sopir taksi misalnya, dia sulit bertahan di Jakarta apabila tidak ada pemasukan di era Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Buruh-buruh harian bakal kesulitan mencukupi biaya hidup di Jakarta apabila tak ada uang yang didapat. Maka pemudik yang beralasan ekonomi bisa dimaklumi, kecuali negara mampu menanggung kebutuhan dasar mereka supaya tidak pulang kampung.
![]() |
Jokowi pada Kamis (9/4) kemarin mengungkapkan ada dua kelompok yang tidak dilarang untuk pulang ke kampung halaman. Salah satu alasannya, menurut Jokowi, mereka yang terdampak pada sektor ekonomi akibat Corona.
Kelompok pemudik nomor dua yang tidak dia larang untuk pulang kampung adalah pemudik karena tradisi. Dia menyebut mudik adalah tradisi sejak puluhan tahun yang lalu.
"Kelompok kedua adalah warga yang mudik karena tradisi yang sudah puluhan tahun kita miliki di negara kita Indonesia," tutur Jokowi lewat siaran Sekretariat Kepresidenan.
Namun ada beberapa kelompok yang dilarang pemerintah untuk mudik. Mereka adalah Aparatur Sipil Negara (ASN),TNI-Polri dan pegawai BUMN.