Pro-Kontra Darurat Sipil yang Dipertimbangkan Jokowi

Round-Up

Pro-Kontra Darurat Sipil yang Dipertimbangkan Jokowi

Tim detikcom - detikNews
Selasa, 31 Mar 2020 09:28 WIB
Presiden Jokowi
Presiden Jokowi (Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Setpres)
Jakarta -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan saat ini perlu kebijakan darurat sipil untuk menangani pandemi virus Corona (COVID-19). Namun pertimbangan itu ditolak oleh sejumlah pihak, di antaranya Komnas HAM dan koalisi masyarakat sipil karena dianggap darurat sipil lebih terfokus kepada aspek keamanan, bukan kesehatan.

"Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Presiden Jokowi dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas COVID-19, disiarkan lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3/2020).

Latar belakang kebijakan penetapan darurat sipil saat ini adalah Jokowi menilai pembatasan kebijakan sosial sudah perlu diterapkan dalam skala besar. Physical distancing atau jaga jarak fisik harus diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif. Semua itu untuk mencegah penyebaran COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memiliki pendapat yang berbeda dengan Presiden dalam menghadapi pandemi Corona. Pemerintah harusnya mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai payung hukum dalam mengatasi pandemi Corona.

Hal ini didasarkan pada isu COVID-19 yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Sedangkan Darurat Sipil karena faktor keamanan dan pertahanan.

ADVERTISEMENT

"Pemerintah belum saatnya menerapkan keadaan darurat sipil atau darurat militer," kata anggota koalisi, Erwin Natosmal Oemar, kepada wartawan.

Koalisi itu terdiri atas ELSAM, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS. Menurut mereka, harusnya Presiden Jokowi membuat payung hukum yang mengatur kebijakan pembatasan sosial atau social distancing.

"Presiden harus mengeluarkan Keppres terkait penetapan status bencana nasional yang akan menjadi payung hukum penerapan kebijakan pembatasan sosial. Keppres tersebut termasuk mengatur struktur komando pengendalian (kodal) bencana yang lebih jelas yang dipimpin oleh Presiden sendiri," ujar Erwin.

Di Tengah Pandemi, 8.763 Orang Daftar Jadi Relawan Tangani Corona:

Senada dengan koalisi masyarakat sipil, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak setuju dengan penetapan darurat sipil, karena saat ini Indonesia tidak butuh kebijakan itu. Komnas HAM menyebut Indonesia saat ini butuh darurat kesehatan nasional.

"Yang kita butuhkan darurat kesehatan nasional," kata komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam keterangan pers tertulisnya.

Choirul mengatakan darurat sipil tujuannya adalah untuk ketertiban sipil. Sehingga tak sejalan dengan tujuan kesehatan.

"Darurat sipil tujuannya tertib sipil yang biasanya untuk memastikan roda pemerintahan berjalan dan tertib sipil. Dari perspektif tujuan saja berbeda jauh," tutur Choirul.

"Maka yang dibutuhkan adalah darurat kesehatan nasional. Tata kelolanya yang diperbaiki, misalkan platfrom kebijakan yang utuh dan terpusat, karena karakter COVID-19 membutuhkan kebijakan utuh dan terpusat," kata Choirul.

Diketahui, darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu tersebut mencabut Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959.

Dalam Perppu tersebut dijelaskan 'keadaan darurat sipil' adalah keadaan bahaya yang ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang untuk seluruh atau sebagian wilayah negara. Berikut ini bunyi pasal dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1953 ini.

Pasal 1


(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila :

1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.

Sementara, Istana mengatakan darurat sipil digunakan untuk melakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Istana mengatakan darurat sipil adalah langkah terakhir yang akan diambil dalam menangani pandemi Corona.

"Pemerintah juga mempertimbangkan usulan pemberlakuan Darurat Sipil supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif. Namun, penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus COVID-19," kata Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, dalam keterangan tertulis.

Halaman 2 dari 3
(lir/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads