Istilah suspect, social distancing, lockdown, tracing, spesimen, test kit, rapid test, swab test, hingga genome sequencing semakin sering terdengar di era darurat virus Corona. Muncul kekhawatiran, tidak semua orang paham istilah-istilah asing itu, kesenjangan (gap) informasi bisa terjadi.
Imbauan-imbauan pemerintah terkait bagaimana cara mencegah penyebaran virus Corona dinilai belum dipahami kelompok masyarakat menengah ke bawah. Padahal kelompok ini termasuk paling rentan terjangkit penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus itu.
Guru besar sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, menuturkalama ini pemerintah dan media lebih banyak menggunakan istilah yang dipahami kalangan terbatas saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penggunaan istilah social distancing atau lockdown kan tidak semua orang atau kelompok bisa mengerti itu," ujar Bagong saat memberi penjelasan pada detikcom.
Padahal, menurut Bagong, kelompok ini yang justru harus mendapatkan perhatian lebih banyak. Mereka lebih banyak tinggal di kawasan permukiman padat di kota-kota besar yang membuat risiko penularan lebih besar. Kepadatan itu sekaligus membuat kecepatan penularan bisa sangat tinggi dan tak terkendali.
Persoalan lain lagi, menurut Bagong, komunitas ini menganggap mereka bukan kelompok yang rawan untuk terkontaminasi penyakit COVID-19. Bagi kelas menengah ke bawah, penyakit COVID-19 ini justru dianggap sebagai penyakit kelas menengah ke atas.
"Karena dalam reportase yang diekspos berbagai media mereka melihat yang kena penyakit itu menteri, wali kota, atau orang-orang yang habis bepergian dari luar negeri," ujar Bagong.
"Virus Corona sepertinya dipahami seperti itu. Karena di lingkungan sosialnya, mereka belum melihat ada contoh langsung atau bagian dari keluarga mereka belum ada yang jadi korban. Kelompok ini kan selalu menginginkan contoh benar-benar nyata yang bisa dilihat," tuturnya.
Jika Hasil Tes Negatif Corona, Social Distancing Tetap Diperlukan!:
Dengan kondisi seperti itu, menurut Bagong, bukan hal yang mengherankan jika sosialisasi mengenai langkah-langkah pencegahan penyebaran virus Corona serta bahaya penyakitnya lebih banyak hanya dianggap sambil lalu saja oleh kelompok tersebut.
Karena itu, saat ini kondisinya sudah mendesak bagi pemerintah untuk mengambil pendekatan yang lebih adaptif pada tiap-tiap kelompok. Pemerintah tidak bisa mengandalkan model sosialisasi homogen untuk diterapkan pada semua lapisan masyarakat.
"Pendekatannya jangan menghomogenisasi, tapi dengan memperhatikan variasi karakteristik subjeknya. Kelompok yang berbeda harus didekati dengan cara yang berbeda pula," kata Bagong.
Bagi kelompok menengah ke bawah, menurut Bagong, bisa dilakukan melalui pendekatan berbasis komunitas. "Cari dukungan dari orang-orang tingkat lokal yang punya pengaruh," katanya. "Atau bisa juga melalui kelompok-kelompok keagamaan."
Pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riris Andono Ahmad menuturkan bisa jadi bagi kelompok menengah ke bawah menganggap penyakit COVID-19 bukan ancaman yang harus ditakuti. "Bagi kelompok ini lebih berbahaya kalau tidak bekerja," ujarnya.
Apalagi jika pemerintah dalam memberi sosialisasi menggunakan idiom yang sulit dipahami. "Bisa timbul gap informasi. Istilah social distancing itu kan bahasa kelas atas," ujar doktor ilmu epidemiologi dan kesehatan masyarakat dari Erasmus University, Rotterdam, Belanda, itu.
Menurut Andono, lebih baik pemerintah menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dengan kelompok ini. "Misalnya kalau di perkampungan social distancing itu riilnya kayak apa. Istilah yang dipakai harus dekat dengan mereka biar mudah dimengerti," katanya.
Perlakuan pada kelompok menengah ke bawah jika akhirnya ada yang terdiagnosis positif terjangkit pun tak bisa disamakan. Mengingat padatnya kawasan tempat tinggal, seseorang yang terjangkit atau masuk kategori pasien dalam pengawasan (PDP) harus dijemput lalu diisolasi di tempat yang berbeda.
"Kalau di Jakarta dengan kondisi tempat tinggal yang amat padat, membatasi gerak atau isolasi di rumah sendiri tidak cukup. Dia harus diambil dari rumahnya," ujar Andono.