Pasien positif corona di Jawa Timur kini berjumlah 9 orang dengan satu meninggal dunia. Meski begitu, Pemprov Jatim dan perwakilan ormas Islam menyepakati Salat Jumat tetap dilaksanakan. Dengan syarat jemaah menjaga kebersihan masing-masing dan membawa masker.
Usai pertemuan selama 5 jam memastikan bahwa Jatim tidak mengambil keputusan seperti DKI Jakarta yang meniadakan Salat Jumat selama 2 minggu.
Sekretaris MUI Jatim, Ainul Yaqin menjelaskan bahwa salat Jumat tetap dilaksanakan karena bahaya virus corona memang nyata tapi tidak bisa didefinisikan.
"Persoalannya sekarang bahaya (corona) itu jelas, tetapi belum bisa didefinisikan sehingga yang perlu kita lakukan adalah bagaimana sedapat mungkin mencegah bahaya itu. Karena itu salah satu solusi yang utama adalah bagaimana setiap orang yang akan melaksanakan ibadah (salat Jumat) masing-masing menyadari bahwa dirinya itu semua punya potensi sebagai agen pengedar bahaya," kata Ainul usai pertemuan di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Kamis (19/3/2020) malam.
Pengedar bahaya, lanjut Ainul, yakni jemaah harus sadar bahwa dirinya punya potensi untuk membawa virus tersebut. Maka dengan kesadarannya, bila sakit atau memiliki gejala-gejala virus corona, disarankan tidak mendatangi masjid.
Tonton juga Kasus Corona di Jatim: 9 Orang Positif, 36 PDP :
Selain itu hasil dari pertemuan menyepakati bahwa setiap jemaah yang akan melaksanakan ibadah ke masjid harus membekali diri dengan melakukan upaya cuci tangan dengan sempurna. Kemudian melakukan pembersihan hand sanitizer. Tak lupa jemaah juga datang ke masjid dengan menyiapkan penutup mulut dan hidung.
"Karena penyebaran virus ini adalah lewat percikan yang berasal dari mulut dan hidung, maka mereka harus sadar ke masjid dalam posisi sehat dan membekali diri dengan hal-hal tersebut," tegas Ainul.
Ainul menambahkan dalam fatwa MUI dalam menanggulangi corona salat jumat merupakan kewajiban. Kecuali di wilayah tersebut jelas ada ancaman yang terlihat dan nyata, maka jumatan bisa ditiadakan.
"Salat Jumat itu satu kewajiban ini hal yang normal. Tetapi kemudian dalam kondisi pengecualian di fatwa disebutkan orang yang sakit, maka dia tidak diwajibkan. Karena dia sebagai agen yang sudah jelas bisa menimbulkan bahaya pada orang lain," pungkasnya.