Jakarta -
Permintaan pada pemerintah untuk menetapkan karantina wilayah atau lockdown banyak disuarakan untuk mencegah semakin meluasnya penyakit COVID-19. Sebenarnya seberapa besar urgensi kebijakan 'mengunci' wilayah ini untuk Indonesia? Apakah ada solusi lain yang bisa dijalankan?
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Riris Andono Ahmad menyatakan lockdown merupakan salah satu cara menekan penyebaran virus Corona. Namun Andono mengingatkan langkah ini merupakan solusi yang paling ekstrim.
"Intinya kita semua terpenjara dalam rumah. Hanya institusi vital saja yang dipertahankan tetap berjalan. Jalan ini diambil jika upaya untuk melakukan social distancing sudah tidak bisa dilakukan," ujar Andono pada wartawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andono menyampaikan mengambil opsi melakukan lockdown harus melalui berbagai telaah dan perhitungan yang benar-benar komprehensif. Menerapkan lockdown dengan serampangan justru memiliki konsekuensi sangat besar dalam berbagai bidang.
"Secara global WHO tidak pernah menyarankan ada lockdown. Kalau serampangan justru ongkos sosial, ekonomi, dan politiknya sangat besar," ujar doktor ilmu epidemiologi dan kesehatan masyarakat dari Erasmus University, Rotterdam, Belanda.
"Dan yang paling menderita dari lockdown itu pekerja informal, mereka yang tidak punya tabungan. Para pekerja harian. Mereka ini tidak akan bisa hidup. Apakah pemerintah siap untuk menanggung mereka. Ini justru bisa meningkatkan kerentanan."
Tunda Liburan! Pilih Social Distancing di Tengah Pandemi Corona:
Apalagi menurut Andono, karantina wilayah tersebut baru akan efektif jika dilakukan selama minimal dua kali masa inkubasi. Kalau masa inkubasi COVID-19 selama dua minggu, artinya lockdown harus dilakukan minimal satu bulan.
"Kalau kita dikunci cuma seminggu mungkin masih oke. Kalau sebulan lebih bagaimana? di Wuhan untuk bisa sampai mengembalikan butuh dua bulan lebih. Bisa dihitung costnya," ujar Course Direktur Field Epidemiology Training Program (FETP), FK-UGM itu.
Andono pun memaparkan tak semua "penguncian" wilayah dalam mewabahnya sebuah penyakit memiliki dampak positif. Dia mencontohkan lockdown yang diterapkan sejumlah negara di kawasan Afrika bagian Barat ketika terjadi wabah ebola pada 2014 silam.
"Ini case paling buruk penerapan lockdown yang serampangan. Di Afrika Barat pusat karantina diserbu masyarakat karena mereka tidak percaya sistem lagi. Pasien-pasien dibawa pulang. Ini mengerikan," ujar Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM itu.
Dikutip dari CNN, pemerintah Sierra Leone memutuskan melakukan karantina wilayah selama tiga hari saat Ebola mewabah pada pertengahan September 2014 lalu. Namun badan bantuan medis, Medecins Sans Frontieres (MSF) saat itu menyebut penguncian tersebut tidak menghentikan penyebaran penyakit.
"Karantina dan penguncian paksa membahayakan kepercayaan antara orang-orang dan penyedia kesehatan," demikian pernyataan MSF yang dikutip CNN. "Orang-orang justru menyembunyikan kasusnya dan mendorong orang sakit menjauh dari sistem kesehatan."
Suasana darurat Corona. (Pradita Utama/detikcom) |
Kebijakan karantina wilayah menurut Andono juga membutuhkan kekuatan kepolisian dan militer. Mengerahkan aparat keamanan dan memperbantukan tentara untuk memaksa atau memastikan masyarakat tinggal di rumah dalam jangka waktu yang tak singkat membutuhkan biaya operasional yang sangat besar.
Kekuatan ekonomi Indonesia tak setangguh China yang mampu mengunci Wuhan dalam waktu dua bulan lebih dengan memastikan segala kebutuhan masyarakat terpenuhi agar tak terjadi kekacauan baru. "Butuh biaya operasional yang luar biasa besar dan kita ini tak sekaya China. Kita harus menggunakan anggaran kita seefisien mungkin," ujar Andono.
Jadi ketimbang memberlakukan lockdown, Andono menyarankan agar anggaran yang ada digunakan seluas-luasnya untuk mendukung intervensi ke lini sistem kesehatan masyarakat. Model ini sudah diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan dan Taiwan. Dua negara ini pun tak melakukan karantina wilayah.
Untuk menahan laju virus Corona, pemerintah Korsel melakukan pemeriksaan massal secara gratis. Pekerja di laboratorium bisa memproses sekitar 15 ribu hasil tes setiap hari dari 50 stasiun pemeriksaan bersistem drive-thru. Masyarakat pun bisa mengakses riwayat perjalanan pasien yang terinfeksi.
"Korsel dan Taiwan dibantu akses screening yang cepat dan teknologi informasi yang baik. Orang yang sakit atau bergejala bisa di-screening dengan cepat dan ditemulan. Ini bisa membantu mengontrol COVID sehingga bisa dikendalikan," katanya
Selain itu, menurut Andono per membangun kesadaran agar orang mau melakukan social distancing. "Mereka yang bergejala mau membatasi diri dan membatasi kontak dengan orang lain. Bahkan dengan yang di rumah," ujarnya.
Pendapat senada juga diutarakan pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu, lockdown bukan pilihan terbaik atasi pandemi COVID-19. "Lockdown potensial memperburuk situasi dan secara epidemiologis kurang bermanfaat tekan penularan," ujarnya
Doktor epidemiologi lulusan University of California, Los Angeles, Amerika Serikat itu mengatakan opsi terbaik menekan kurva pandemi itu dengan penguatan pelayanan kesehatan yang melibatkan masyarakat. "Lakukan tes sebanyak-banyaknya, edukasi publik, jaga jarak, cegah kerumunan," ujar Pandu.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini