Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Corona atau COVID-19. Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Cholil Nafis menjelaskan soal hukum salat Jumat di tengah wabah Corona.
Cholil Nafis mengatakan keluarnya fatwa tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai apakah salat Jumat akan ditiadakan atau khatib hanya membacakan khotbah saja.
"Seusai Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi COVID-19, dikeluarkan banyak diskusi dan masyarakat bertanya-tanya, apakah hari Jumat besok khatib akan baca khotbah atau masjid masih menyelenggarakan salat Jumat," ujar Cholil Nafis dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/3/2020). Dia menambahkan keterangan pendapat pribadi dalam tulisannya.
Cholil menjelaskan, dalam fatwa tersebut dijelaskan orang yang sudah terpapar virus Corona harus melakukan isolasi diri. Orang tersebut pun dilarang melaksanakan salat Jumat karena dikhawatirkan akan menularkan virus.
"Dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal, pertama, orang yang terpapar COVID-19 harus mengisolasi diri dan haram melaksanakan salat Jumat karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain," katanya.
Menurutnya, larangan itu untuk menjaga kemaslahatan. Cholil mengatakan larangan itu juga dapat menimbulkan kebaikan untuk kepentingan umum.
"Tentu, prinsipnya, memelihara kemaslahatan umum didahulukan daripada kemaslahatan individu dan prinsip menolak keburukan didahulukan daripada memperoleh kebaikan," ucapnya.
Bagi orang yang sehat dan berada di wilayah yang terkena wabah, dibolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat. Meski demikian, kata Cholil, orang tersebut juga dibolehkan melaksanakan salat Jumat dengan menjaga diri agar tidak terkena wabah.
"Kedua, orang yang sehat dan belum diketahui terkena COVID-19, maka ada dua hal dan kondisi. Jika ia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya dengan penularan penyakit, ia boleh tidak melaksanakan salat Jumat," ujarnya.
"Kata boleh itu artinya juga boleh melaksanakan jumatan. Meskipun itu juga bisa jadi uzur untuk tidak melaksanakan salat Jumat," sambungnya.
Namun, bagi orang yang sehat dan berada di wilayah yang sebaran virus Coronanya masih rendah, melaksanakan salat Jumat merupakan suatu kewajiban. Cholil juga meminta kepada jemaah senantiasa menjaga kebersihan.
"Jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah, bahkan tak ada tanda-tanda penularan COVID-19, tetap wajib salat Jumat dengan penuh kehati-hatian dan ikhtiar dengan sebaik-baiknya, seperti jaga kebersihan dan selalu memelihara wudu," katanya.
Menurutnya, tidak melaksanakan salat Jumat dengan meniadakan salat Jumat berbeda maknanya. Apabila sudah masuk dalam kategori meniadakan salat Jumat, tentu itu melanggar hukum agama.
"Kata tidak melaksanakan ibadah Jumat itu berbeda dengan meniadakan jumatan. Tidak melaksanakan salat Jumat berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan salat Jumat. Namun meniadakan salat Jumat berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah salat Jumat. Tentu meniadakan salat Jumat pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama," ucapnya.
Cholil Nafis mengatakan salat Jumat selalu dilakukan dengan ramai hingga puluhan, bahkan ratusan, orang sehingga dikhawatirkan wabahnya cepat menular kepada orang banyak. Dalam kondisi mewabahnya COVID-19 ini, Cholil menjelaskan umat dapat memilih pendapat imam mazhab yang lebih memungkinkan tentang syarat sahnya salat Jumat harus berjemaah.
"Mazhab Hanafi: Syarat sahnya salat Jumat harus berjemaah yang sedikitnya berjumlah tiga orang selain imamnya (4 orang). Dan ketiganya tidak harus hadir saat khotbah, yang penting di antara jemaah meskipun hanya seseorang ada yang mendengarkan khotbah. Shalat Jumatnya pun tak harus di masjid," ujarnya.
Sementara itu, kata Cholil, dalam mazhab Imam Maliki, jumlah minimal jemaah salat Jumat berjumlah 12 orang selain imam. Semua jemaah diwajibkan hadir sejak awal ketika awal khotbah hingga pelaksanaan salat selesai.
"Mazhab Maliki: Salat Jumat harus dilaksanakan secara berjemaah yang sedikitnya dua belas orang selain imam (13 orang), dengan syarat seluruh jemaahnya adalah orang yang wajib salat Jumat, penduduk setempat dan semuanya hadir dari awal khotbah sampai selesai pelaksanaan salat Jumat," katanya.
Adapun mazhab Syafi'i, lanjutnya, salat Jumat dilaksanakan oleh jemaah yang sedikitnya empat puluh orang meskipun sekalian dengan imamnya.
"Semua harus penduduk setempat, orang-orang yang wajib salat Jumat yang hadir dari awal khotbah sampai selesai pelaksanaan salat. Demikian mazhab Hambali hampir sama dalam hal ini dengan mazhab Syafi'i," tuturnya.
Cholil mengatakan semua pendapat imam mazhab itu memungkinkan untuk diikuti asalkan tidak karena talfiq. Talfiq adalah mencampur pendapat ulama mazhab dengan tujuan mencari kemudahan, menggampangkan hukum Islam/tatabbu' urukhash.
"Di antara sebab perbedaan pendapat ulama ini adalah interpretasi surat Al-Jum'ah ayat 9 itu hingga dapat ditafsirkan jumlah yang diseru untuk salat Jumat tiga orang lebih. Maka lebih dari tiga orang dalam satu daerah hukumnya wajib melaksanakan ibadah salat Jumat. Tapi karena kehati-hatian Imam Syafi'i mensyaratkan minimal salat Jumat dilakukan oleh 40 orang," sambungnya.
Karena itu, lanjutnya, bagi warga Jakarta yang saat ini wilayahnya paling banyak pandemi Corona, maka dibolehkan untuk tidak melaksanakan salat Jumat. Namun, bagi warga yang berada di daerah lain yang sebaran virus Corona belum ada, maka wajib melaksanakan salat Jumat.
"Kondisi sekarang ini seperti di Jakarta dapat memilah tempat mana yang rawan COVID-19, sehingga boleh meninggalkan salat Jumat demi keselamatan diri dan masyarakat. Lalu seperti daerah lain yang masih steril dari COVID-19, maka wajib melaksanakan salat Jumat seraya ikhtiar dan berhati-hati. Wallahua'alam bisshawab," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Bidang Fatwa MUI Huzaemah juga meluruskan informasi terkait isu MUI membolehkan masyarakat melakukan salat Jumat di rumah di tengah pandemi Corona. Huzaemah menegaskan MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa itu.
"Hanya dikatakan boleh tidak melakukan salat Jumat, tetapi diganti salat Zuhur di kediaman masing-masing, nggak ada itu bunyinya boleh salat Jumat di rumah. Salat Jumat itu kan jemaah, bagaimana (kalau) di rumah," tegasnya.