KPK di era kepimpinan Firli Bahuri belum melakukan operasi tangkap tangan (OTT) lagi setelah terakhir menjerat eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada awal Januari 2020. KPK menegaskan tetap bekerja.
"Saya kira begini, saya menyampaikan bahwa saat ini KPK itu masih terus bekerja, kurang lebih ada surat perintah penyelidikan (sprinlid) 63 yang sedang berjalan, baik terbuka maupun tertutup," kata Plt Jubir KPK Ali Fikri di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (12/3/2020).
OTT merupakan salah satu proses penindakan yang biasa dilakukan KPK untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi. Ali mengatakan di era KPK yang sekarang ingin menggunakan lebih banyak instrumen dalam melakukan penindakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi begini, pertama tentang OTT. OTT adalah salah satu alat dalam proses penindakan di KPK. Kan penyelidikan atau penindakan itu kan tertutup, bisa terbuka ending-nya di penetapan tersangka. Bisa dilakukan dengan cara OTT, bisa dengan case building ataupun ya penyelidikan secara terbuka lakukan penyelidikan terkait dengan suap misalnya karena OTT biasanya suap ya ataupun pasal 2, pasal 3," ujar Ali.
Selain itu, Ali mengatakan dalam pemberantasan korupsi itu ada dua upaya yang bisa dilakukan yakni penindakan dan pencegahan. Untuk itu, menurut Ali, pencegahan dan penindakan harus berjalan simultan.
"Saya kira itu dua hal yang dilakukan secara simultan, secara bersama. Ini tentang apa yang akan dilakukan KPK ke depan. Ada penindakan juga dilakukan dengan pencegahan, pencegahan juga ada nanti kaitannya dengan penindakan. Dua hal yang kita lakukan terus jadi tak terpisahkan pencegahan dan penindakan," tuturnya.
Untuk diketahui, OTT terakhir yang dilakukan KPK era Firli Bahuri cs dilakukan pada 7 Januari 2020. OTT itu menjerat Wahyu Setiawan, yang saat itu menjabat Komisioner KPU.
Kemudian ada empat tersangka yang dijerat KPK dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR itu, yaitu Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, Saeful, dan Harun Masiku. Saeful dan Harun dijerat sebagai pemberi suap, sedangkan Wahyu dan Agustiani adalah penerimanya.
Wahyu dijerat saat menjabat Komisioner KPU, sedangkan Agustiani disebut sebagai orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lalu, Saeful hanya disebut KPK sebagai swasta dan Harun adalah bekas caleg PDIP.
(ibh/dhn)