Mantan Sekretaris MA yang jadi buron KPK, Nurhadi, menghadirkan saksi ahli dalam praperadilan melawan KPK. Saksi ahli yang dihadirkan menyebut tak ada aturan khusus tentang pemberian Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada tersangka.
"Secara khusus tidak ada aturan, secara prinsip harus disampaikan pada yang bersangkutan, sama halnya dengan panggilan, tidak diatur secara khusus," kata ahli dari kubu Nurhadi, Chairul Huda, saat sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jaksel, Rabu (11/3/2020).
Chairul merupakan pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta. Menurutnya, pemberian SPDP itu harus dilakukan secara patut sebagaimana diatur KUHAP, namun tak ada pasal khusus yang mengaturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasal khusus yang mengatur bagaimana SPDP disampaikan, tidak ada. Dasar hukumnya ada cuma tidak khusus mengatur itu," ucapnya.
Menurut Chairul, SPDP bersifat pemberitahuan. Dalam SPDP, menurutnya, belum ada pihak yang jadi tersangka.
"SPDP sebenarnya belum diketahui tersangkanya, SPDP itu belum punya tersangka," ujarnya.
Chairul juga ditanya soal batasan seseorang mengajukan praperadilan. Menurutnya, setiap orang boleh saja berkali-kali mengajukan praperadilan dalam perkara yang sama, namun konteks yang berbeda.
"Tidak diatur, karena semua tergantung perbuatan aparat penegak hukum yang dianggap bertentangan dengan prosedur. Selagi dimungkinkan hal itu, selama itu dimungkinkan praperadilan," kata dia.
Seperti diketahui, Nurhadi, Rezky Herbiyono (menantu Nurhadi), dan Hiendra Soenjoto (Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal/MIT) mengajukan praperadilan meminta status tersangka dibatalkan. Mereka menganggap KPK juga tidak memberikan SPDP secara langsung kepada Nurhadi dan tersangka lainnya.
"Sehingga sudah seharusnya penetapan tersangka terhadap pemohon harus dinyatakan tidak sah dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat," ujar kata penasihat hukum Nurhadi cs, Iqnatius Supriyadi, saat sidang di PN Jaksel, Senin (9/3).