Temuan terowongan kuno peninggalan masa kolonial Belanda di Dusun Cokro Kembang, Desa Daleman, Kecamatan Tulung, Klaten kini dibuatkan tangga masuk. Undakan tangga itu dibangun persis di depan rumah inisiator pembersihan terowongan Danang Heri Subiantoro (53).
"Pintu dan tangga masuk sudah jadi. Lewatnya depan rumah saya," ujar Danang kepada detikcom saat ditemui di rumahnya, Jumat (7/2/2020).
Danang menyebut tangga itu menjadi jalan masuk ke terowongan era Belanda tersebut. Ada sebanyak 20 anak tangga dengan kedalaman sekitar 6 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedalaman 6,25 meter tetapi kita pertahankan bangunan aslinya meski sebagian lahan buat anak tangga," ujar Danang.
Meski sudah ada pintu masuk dan tangga, terowongan tersebut masih tertutup untuk umum. Rencananya pembukaan terowongan itu masih menunggu kajian dan izin Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
"Masih nunggu izin Dinas. Namun demikian semakin banyak lumpur yang berhasil dibersihkan," tambah Danang.
![]() |
Diwawancarai terpisah, Plt Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Pemkab Klaten, Sri Nugroho menyebut pembukaan terowongan untuk umum belum bisa dilakukan karena masih menunggu kajian.
"Ini berkaitan dengan situasi dan keamanan. Sebab meskipun sekilas aman, terowongan itu tetap bangunan kuno jadi perlu kajian," jelas Nugroho.
Pemkab bersama pemerintah desa sudah dua kali rapat dengan mengundang Balai Arkeologi, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng bersama masyarakat. Hasilnya, penggalian lanjutan dihentikan dulu.
"Nanti menunggu ada tim besar yang terdiri dari para ahlinya. Tim itu akan dibentuk dengan ahli baik dari cagar budaya sampai arkeologinya," ujarnya Nugroho.
Sementara itu, menurut keterangan Ketua RT 17 Dusun Cokro Kembang, Dadi Wahyudi (61), terowongan buatan Belanda itu difungsikan sebagai bungker. Menurut cerita sesepuh desa, terowongan itu sudah ada sebelum berdirinya pabrik gula (PG) Cokro Tulung yang dibangun tahun 1840.
"Sebenarnya itu menurut cerita sesepuh juga bungker. Terowongan ditimbun berlapis-lapis. Baru di atasnya dibangun pabrik gula," kata Dadi.
Pabrik gula sendiri, kata Dadi tidak beroperasi sejak tentara Jepang datang tahun 1942. Jepang selama setahun menguasai pabrik gula untuk menimbun kapas. Setelah Jepang pergi, Belanda datang lagi sampai tahun 1949.
Menurutnya, terowongan itu sudah lama diketahui warga dan sering digunakan bermain anak-anak zaman dulu.
"Dulu kalau mau masuk, merangkak 15 melalui timbunan lumpur. Baru setelah itu ada ruangan besar, bisa untuk berdiri," ungkap Dadi.
Saat dimintai konfirmasi, Pamong Budaya Madya BPCB Jateng, Deny Wahju Hidajat, mengatakan selama ini warga mengira terowongan itu berfungsi sebagai saluran air atau limbah PG Cokro.
"(Tapi) Belum tentu buangan air. Bisa jadi buangan limbah atau bungker sebab bisa jadi sudah beralih fungsi," terang Deny.
Di salah satu lorong besar ditemukan semacam pintu yang ditutup tembok. Tembok itu usianya tua. "Yang ditutup tembok bisa jadi penjara. Di era-era zaman Jepang atau sebelumnya," sambung Deny.
Dari hasil rapat terakhir, terang Deny, Balai Arkeologi dan BPCB siap melakukan kajian terowongan tersebut.