Bumi Ageng Cikidang Cianjur memiliki peranan besar dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, salah satunya ketika masa pendudukan Jepang. Di rumah milik Bupati Cianjur ke-10 Raden Aria Adipati Prawiradiredja II ini, pertemuan para pejuang kemerdekaan dilakukan.
Bahkan, PETA (tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang terbentuk berdasarkan persetujuan dari Gunseikan yaitu kepala pemerintahan militer Jepang saat itu sempat menjadikan Bumi Ageung yang berada di Jalan Moch Ali Kelurahan Solokpandan Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur sebagai basis pergerakan.
Pertemuan yang dilakukan sekitar 1943-1945 dipimpin oleh Gatot Mangkoepraja (pahlawan nasional) itu juga dihadiri Raden Ayu Tjitjih Wiarsih anak dari Raden Aria Adipati Prawiradiredja II selaku pemilik rumah yang juga menjadi tokoh perjuangan Cianjur kala itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya sempat jadi tempat pertemuan tentara PETA," ungkap Rachmat Fajar, Ketua Javapurana yang sekaligus generasi kelima Raden Aria Adipati Prawiradiredja II.
Setelah masa kemerdekaan, antara 1946-1948, lanjut Fajar, Bumi Ageung menjadi sasaran mortir lantaran masih dianggap sebagai objek vital oleh bangsa penjajah. Situasi yang berbahaya itu memaksa keluarga besar pemilik rumah, terutama Tjitjih Wiarsih memutuskan untuk mengungsi sementara waktu.
Anggota keluarga terpencar mengungsi ke sejumlah daerah, di antaranya pergi ke Kuningan dan sebagian lagi ke daerah Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur.
"Kondisinya saat itu jadi sasaran mortir, tapi tidak ada yang sampai kena rumah. Mortir berjatuhan di halaman depan dan pabrik beras di samping rumah," jelas Fajar.
Ketika ditinggalkan, Bumi Ageung Cikidang sempat bergantian diduduki dan dijadikan markas oleh pasukan Jepang dan Belanda. "Dari keterangan orang tua kala itu, di teras rumah juga sempat terparkir mobil panser," tuturnya.