Bumi Ageung Cikidang Cianjur Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan

Unak Anik Jabar

Bumi Ageung Cikidang Cianjur Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan

Ismet Selamet - detikNews
Senin, 03 Feb 2020 07:38 WIB
Bumi Ageung Cikidang Cianjur
Foto: Bumi Ageung Cikidang Cianjur (Ismet Selamet/detikcom)
Cianjur -

Bumi Ageng Cikidang Cianjur memiliki peranan besar dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, salah satunya ketika masa pendudukan Jepang. Di rumah milik Bupati Cianjur ke-10 Raden Aria Adipati Prawiradiredja II ini, pertemuan para pejuang kemerdekaan dilakukan.

Bahkan, PETA (tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang terbentuk berdasarkan persetujuan dari Gunseikan yaitu kepala pemerintahan militer Jepang saat itu sempat menjadikan Bumi Ageung yang berada di Jalan Moch Ali Kelurahan Solokpandan Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur sebagai basis pergerakan.

Pertemuan yang dilakukan sekitar 1943-1945 dipimpin oleh Gatot Mangkoepraja (pahlawan nasional) itu juga dihadiri Raden Ayu Tjitjih Wiarsih anak dari Raden Aria Adipati Prawiradiredja II selaku pemilik rumah yang juga menjadi tokoh perjuangan Cianjur kala itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya sempat jadi tempat pertemuan tentara PETA," ungkap Rachmat Fajar, Ketua Javapurana yang sekaligus generasi kelima Raden Aria Adipati Prawiradiredja II.

Setelah masa kemerdekaan, antara 1946-1948, lanjut Fajar, Bumi Ageung menjadi sasaran mortir lantaran masih dianggap sebagai objek vital oleh bangsa penjajah. Situasi yang berbahaya itu memaksa keluarga besar pemilik rumah, terutama Tjitjih Wiarsih memutuskan untuk mengungsi sementara waktu.

ADVERTISEMENT

Anggota keluarga terpencar mengungsi ke sejumlah daerah, di antaranya pergi ke Kuningan dan sebagian lagi ke daerah Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur.

"Kondisinya saat itu jadi sasaran mortir, tapi tidak ada yang sampai kena rumah. Mortir berjatuhan di halaman depan dan pabrik beras di samping rumah," jelas Fajar.

Ketika ditinggalkan, Bumi Ageung Cikidang sempat bergantian diduduki dan dijadikan markas oleh pasukan Jepang dan Belanda. "Dari keterangan orang tua kala itu, di teras rumah juga sempat terparkir mobil panser," tuturnya.

Selama itu pula, banyak bagian dan isi rumah yang hilang. Bahkan menurut Fajar, 70 persen barang-barang hilang, hanya 30 persennya yang diselamatkan oleh tetangga sekitar di rumahnya.

Barang-barang itu kemudian diserahkan pada keluarga ketika kembali berkumpul di Bumi Ageung setelah keadaan dinilai kembali aman, dua tahun kemudian tepatnya pada 1948.

"Ada beberapa yang tersisa, seperti lukisan, lemari, dan beberapa barang lainnya. Tapi kebanyakan sudah tidak ada," kata dia.

Tidak hanya sampai di situ, ketika terjadi serangan umum di Kota Solo pada 7-10 Agustus 1949, posisi tawar politik Benada semakin melemah karena secara kekuatan militer Belanda telah mengalami kekalahan.

Bersamaan dengan momentum itu, pada 9 Agutus 1949, di Cianjur terjadi genjatan senjata dan penyerahan kekuasaan dari pihak militer Belanda pada Tentara Republik. Bumi Ageung menjadi saksi bisa peristiwa penyerahan kekuasaan itu.

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads