Fungsi GBHN digantikan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
"Dalam Lampiran UU Nomor 17/2007, bab pendahuluan angka 4 dan 5 disebutkan tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (20/1/2020)
"Namun pada praktiknya, saat ini keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya," imbuhnya saat menjadi narasumber FGD 'Rumusan dan Posisi Haluan Negara yang Dapat Diimplementasikan Saat ini'.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, selain ketiadaan GBHN, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah disisi lain juga berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.
"Lahirnya UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan, di dalamnya juga belum memberikan jaminan sinergitas pembangunan nasional dan daerah. Maupun keberlanjutan antara satu periode presiden ke presiden penggantinya," tuturnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menuturkan, ketersebaran panduan arah pembangunan dari berbagai UU justru malah menimbulkan kerancuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Untuk mencegah kerancuan ini di satu sisi, agar pelaksanaan pembangunan bisa terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik pada sisi lainnya, maka diperlukan penataan kembali rencana pembangunan nasional dalam satu naskah haluan negara yang utuh dan komprehensif.
"Secara filosofis, sistem perencanaan pembangunan nasional sebagaimana model GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya rakyatlah melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR RI yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang merancang dan menetapkannya," urai Bamsoet.
Mengenai polemik menghadirkan kembali GBHN, eks Ketua DPR RI ini menegaskan berdasarkan rekomendasi MPR RI 2014-2019, nomenklatur yang digunakan adalah Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bukan GBHN. Dalam pembahasan di Badan Pengkajian MPR, substansi PPHN direkomendasikan hanya akan memuat arah kebijakan strategis yang menjadi arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya.
"Substansi PPHN yang merupakan visi antara dari visi abadi bangsa Indonesia harus mampu menggambarkan wajah Indonesia 50 bahkan 100 tahun ke depan. Selain mampu mengantisipasi megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, perubahan geo ekonomi, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam dan perubahan iklim yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia," jelasnya.
Lebih lanjut, hadirnya PPHN tidak akan mengurangi ruang kreativitas Presiden untuk menerjemahkan ke dalam program-program pembangunan. Dengan adanya PPHN akan menjadi payung yang bersifat politik bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis.
"Dengan begitu, hadirnya PPHN sama sekali tidak bertentangan dengan sistem presidensial yang telah kita sepakati bersama," pungkas Bamsoet.
Simak Video "Ada Apa Dibalik Amandemen UUD 45 dan GBHN?"
(mul/mpr)