Lakon Monopoli Film dan Bangkrutnya Bioskop di Sukabumi

Jabar Minim Bioskop

Lakon Monopoli Film dan Bangkrutnya Bioskop di Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikNews
Rabu, 15 Jan 2020 07:56 WIB
Gedung bekas bioskop Odeon 21. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikcom)
Sukabumi - Berdasarkan data tahun 2019 yang dimiliki Disparbud Jabar, ternyata Kabupaten dan Kota Sukabumi sebagai daerah yang belum memiliki bioskop. Padahal, zaman dulu, bioskop pernah meraja di Sukabumi.

Sedikitnya ada 11 bioskop yang berdiri dari kawasan utara hingga pusat kota Sukabumi. Masing-masing bioskop memiliki kisahnya sendiri, hingga akhirnya satu persatu gulung tikar karena berbagai alasan.

Pegiat sejarah menyebutkan, bioskop di Sukabumi sudah muncul sejak era 70-an. Ada yang memang warisan kolonial Belanda dan sengaja dibangun oleh sejumlah cukong pada masa itu. Pada tahun 80-an hingga 90-an, bioskop memasuki masa kejayaannya. Hampir di setiap sudut kota, bioskop berdiri dengan ciri khasnya masing-masing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Tercatat dua nama bioskop yang dikenal untuk kalangan kelas menengah ke atas lantaran tarif tiketnya mahal pada masa itu. Sebut saja Sukabumi Theatre yang dikenal oleh warga dengan sebutan Shopping Centre, lalu Capitol Theatre. Keduanya memasang tarif Rp 1.350 sampai Rp 1.850, yang disesuaikan dengan kelas yaitu tarif Balkon, VIP dan Kelas 1. Kedua bioskop itu memiliki genre berbeda.

"Kalau untuk Shopping itu dikenal sering menayangkan film-film Hollywood. Blockbuster pada masa itu, sebut saja Rambo, Apocalypse Now, tayang di tempat itu. Sementara Capitol lebih banyak memutar film-film mandarin dan film nasional, Jacky Chan, Warkop DKI dan film-film kolosal seperti Saur Sepuh," kata I Hendy Faizal, pegiat sejarah dari Soekaboemi Heritages dan juga pemerhati perfilman Soecinema, kepada detikcom, Senin (13/1/2020).

Lantaran berbeda genre, masing-masing bioskop memiliki segmen penontonnya sendiri. Kedua bioskop itu dikenal paling besar, disusul kemudian beberapa bioskop lainnya terdiri Nusantara, Royal, Mutiara, Gelora, Indra, Mustika, Garuda, Sinar Surya dan Cicurug Theatre.

Kisah Monopoli Film dan Bangkrutnya Bioskop di SukabumiI Hendy Faizal (Foto: Syahdan Alamsyah/detikcom)
Menurut pria yang juga akrab disapa Egon itu, bioskop selain Shopping dan Capitol, mematok tarif murah antara Rp 100 hingga Rp 1.100. Untuk film yang ditayangkannya mayoritas campuran, itu pun setelah diputar di Shopping dan Capitol.

"Kecuali bioskop Nusantara, segmen dia adalah penonton film-film India, ciri khasnya seperti itu. Lalu bioskop-bioskop lain menayangkan film Indonesia yang lebih ke dewasa yang tidak ditayangkan di bioskop Capitol," tutur Egon.


Pada masa kejayaannya, pemilik bioskop menggunakan mobil bak terbuka untuk promosi film baru. Mobil berkeliling kota dengan membawa poster besar sebagai gambaran film yang akan ditayangkan.

"Saya masih ingat dari mobil itu juga membagikan semacam flyer sinopsis singkat film," ucap Egon.

Era tersebut berganti setelah kepala daerahnya dipimpin Udin Koswara. Ia membangun pusat perbelanjaan modern pada 1993-1994. Konsepnya berupa bangunan dua lantai yang memadukan pasar swalayan dan tradisional.

Ada dua kemungkinan (bioskop bangkrut), pertama keping VCD dan kedua pemilihan tempat.I Hendy Faizal

Perlahan bioskop-bioskop legendaris Sukabumi itu mulai padam seiring berdirinya Odeon 21, hak peredaran film diambil alih. Satu-persatu gulung tikar. Nasib serupa dialami Shopping dan Capitol. Mereka tak lagi bisa memutar film terbaru secara cepat, harus menunggu beberapa bulan.

Dua bioskop itu kalah dalam sisi fasilitas, kualitas dan konsep. Odeon yang menerapkan Cineplex atau sinema kompleks, bisa menayangkan beberapa judul film di studio berbeda. Konsep tersebut tentu jauh dengan bioskop terdahulu yang hanya memiliki satu ruang dengan beberapa kelas.

"Perlahan bioskop lain mulai padam, karena hak distribusi dimonopoli oleh 21. Mereka punya jeda penayangan sebelum dijatuhkan ke bioskop lain. Kalau sebelum datangnya 21, bioskop di Bandung jadi patokan, kalau ada film baru paling lama satu sampai dua minggu sudah tayang di Sukabumi. Setelah ada 21, jeda waktu makin panjang, bisa sampai dua bulan," tutur Egon.

Kisah Monopoli Film dan Bangkrutnya Bioskop di SukabumiGedung bekas bioskop Capitol. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikcom)
Konsep 21 di Sukabumi membabat habis semua bioskop pendahulunya, meski tarif terbilang cukup lumayan yaitu Rp 3.000-Rp 5.000. Setiap studio selalu penuh penonton.

"Ada AC, kursi empuk, kualitas gambar dan surround yang bagus jelas melesat dibandingkan bioskop lainnya," ujar Egon.

Kisah Monopoli Film dan Bangkrutnya Bioskop di SukabumiGedung bekas bioskop Shopping. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikcom)
Namun itu tidak bertahan lama, bioskop 21 akhirnya mengalami kebangkrutan sekitar 2000-2001. Ada dua versi terkait gulung tikarnya bioskop itu, mulai dari serbuan keping VCD hingga pemilihan tempat.

"Saya ingat, film terakhir yang saya tonton sebelum bioskop itu bangkrut adalah film Training Day, yang dimainkan oleh Denzel Washington," ucapnya.

"Ada dua kemungkinan (bioskop bangkrut), pertama keping VCD dan kedua pemilihan tempat. Kalau menurut saya lebih kepada pemilihan tempat yang kurang strategis, kita harus lewat Harun Kabir atau Cijangkar, suasana pasar dan PKL yang membuat jengah. Bioskop satu-satunya masa itu yang bertahan, akhirnya gulung tikar," ucap Egon menutup ceritanya.

Halaman 2 dari 3
(sya/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads