"Penolakan dan pelarangan serta tidak memberikan izin melaksanakan ibadah dan perayaan Natal secara bersama-sama yang selama ini terjadi di dua lokasi pada dua kabupaten, yaitu Dharmasraya dan Sijunjung, tidak terpublikasikan," ujar aktivis PuSAKa Padang, Sudarto, dalam konferensi pers di SETARA Institute, Jl Hang Lekiu II, Kebayoran Baru, Sabtu (21/12/2019).
Sudarto mengatakan umat Katolik di Dharmasraya memberikan beberapa tuntutan untuk melakukan ibadah. Di antaranya meminta izin untuk melakukan ibadah bersama hingga perayaan Natal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang menjadi tuntutan umat Katolik Stasi Santa Anastasia di Jorong Kampung Baru Nagasari Sikabau, Dharmasraya, adalah permohonan izin melakukan ibadah bersama, baik ibadah mingguan maupun perayaan Natal," tuturnya.
Sudarto menyebut tuntutan tersebut telah dilakukan sejak perayaan Natal 2017. Namun hal itu mendapat penolakan dari pemerintah setempat dengan adanya surat yang menyatakan tidak diizinkannya perayaan Natal dan tahun baru.
"Tuntutan tersebut tidak mendapatkan izin, bahkan penolakan atau pelarangan. Penolakan terjadi sejak dikeluarkannya surat Wali Nagari Sikabau tanggal 22 Desember 2017. Yang isinya tidak mengizinkan perayaan Natal 2017 dan tahun baru 2018," kata Sudarto.
Dia mengatakan, pada awal Desember 2019 masyarakat kembali mengajukan surat izin untuk perayaan Natal tahun ini. Akan tetapi penolakan kembali diberikan dengan alasan surat larangan pada 2017 masih berlaku.
"Pada awal Desember 2019, kembali mengajukan surat izin merayakan ibadah Natal. Namun Wali Nagari memberikan surat menyatakan keberatan dan menegaskan surat pada 2017 terkait larangan masih berlaku," tuturnya.
Sementara itu, di Kabupaten Sijunjung, masyarakat yang akan beribadah dan melaksanakan Natal diminta untuk menandatangani kesepakatan bersama. Dalam kesepakatan tersebut, pelaksanaan ibadah tidak dilarang, namun masyarakat diminta melakukan ibadah berjemaah di rumah ibadah masing-masing.
Masyarakat menolak melakukan tanda tangan karena di Sungai Tambang belum ada tempat ibadah resmi.
Sementara itu, Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, dalam kasus ini, pemerintah perlu membuat kebijakan dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Menurutnya, saat ini aturan yang ada masih menimbulkan diskriminasi.
"Seharusnya pemerintah pusat membuat sebuah kebijakan bagaimana mengatasi ini. Tentu saja pemerintah pusat harus lebih berkoordinasi dengan pemerintah daerah," katanya.
"Termasuk membuat kesepakatan bersama, bagaimana mengatasi problem-problem intoleran, problem-problem soal masalah pendirian rumah ibadah. Memang pemerintah telah menyusun peraturan bersama tapi dalam implementasi dan praktiknya kami melihat ada diskriminasi ketidakadilan dalam aturan itu," sambungnya.
Simak video Penampakan dari Udara Kepadatan di Ujung Tol Layang Japek:
(dwia/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini