Jakarta - Pemerintah Indonesia masih mengupayakan pembebasan tiga warga negara Indonesia (WNI) yang disandera
kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Namun upaya pembebasan tersebut tak diungkap secara detail. Apakah bisa mengirimkan pasukan elite TNI untuk membebaskan mereka?
Pengamat militer, Mufti Makarim, menyebut terdapat cara lain untuk melakukan pembebasan selain mengirimkan pasukan. Dia mengatakan mengirim pasukan elite bukan satu-satunya cara.
"Harus ada yang dilakukan selain opsi kirim pasukan, masih banyak jalan lain," ujar Mufti saat dihubungi, Kamis (19/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mufti menuturkan, Indonesia memiliki pengalaman dalam membebaskan sandera
Abu Sayyaf. Sehingga tentu terdapat cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah.
Dia mengatakan pasukan elite Indonesia tak bisa dikerahkan. Sebab penyanderaan dilakukan di luar wilayah Indonesia.
"Kita punya pengalaman beberapa kali membebaskan sandera Abu Sayyaf, pasti akses dan cara yang sebelumnya pernah dilakukan masih ada dalam opsi pemerintah. Ada yang bersifat terbuka dan tertutup," kata Mufti.
"Dari sisi politik luar negeri nggak bisa, karena bukan di wilayah teritorial Indonesia," sambungnya.
Mufti mengatakan, dalam kasus ini operasi militer menjadi tanggung jawab pemerintah Filipina. Menurutnya saat ini Indonesia hanya dapat melakukan proses perundingan untuk perlindungan WNI, namun bukan sebagai operasi keamanan.
"Baik langkah perundingan maupun operasi militer, tetap menjadi tanggung jawab utama pemerintah Filipina. Kita jadi bagian dari proses perundingan, karena kepentingan perlindungan WNI, bukan dalam kapasitas operasi keamanan," tuturnya.
Mufti menyebut kasus penyanderaan ini berbeda dengan kasus Operasi Woyla yang berhasil dilakukan Kopassus pada tahun 1981. Dalam Operasi Woyla, pembajakan pesawat Indonesia masih menjadi ranah keamanan Indonesia.
Dokumentasi Operasi Woyla pada 1981 (Agung Pambudhy/detikcom) |
Operasi Woyla adalah nama sandi operasi pembebasan pesawat DC-9 Garuda dengan nama bodi Woyla yang dibajak pada 28 Maret 1981, pesawat dengan rute Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak dalam penerbangan dari Palembang ke Medan. Dalam operasi ini pasukan Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha berhasil menyelamatkan penumpang dan kru, setelah pintu-pintu darurat di badan dan bagian hidung pesawat didobrak dan sekitar tiga menit kemudian pesawat bisa dikuasai. Keberhasilan Operasi Woyla melambungkan reputasi Kopassandha (kini Kopassus) dan tercatat sebagai salah satu satuan elite top dunia.
"Beda konteks, kasus Woyla itu pembajakan pesawat Indonesia yang menurut hukum, teritorial kita juga," kata Mufti.
Sementara itu, pengamat militer Connie Bakrie mengatakan, kemampuan Kopassus saat ini tidak perlu diragukan. Menurutnya, kasus ini justru menjadi waktu yang tepat bagi Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk mendukung kebijakan TNI.
"Kemampuan aparat kita apalagi semua pasukan khusus kita, termasuk Kopassus tidak dan jangan pernah diragukan lagi. Masalahnya justru saat inilah yan tepat untuk Kemhan mensupport penuh kebijakan TNI tentang pembentukan dan terbentuknya Kogabwilhan baru. Pangkogabwilhan dan Kogabwilhan harus segera memiliki Markas Komando mumpuni, agar dapat konsep koordinasi operasi antar-angkatan (interoperabilitas) di TNI dapat segera terwujud," kata Connie.
Tidak hanya Kemenhan, menurutnya saat ini Presiden juga dituntut untuk segera menentukan Wakil Panglima TNI. Connie menyebut hal ini perlu dilakukan agar dapat melakukan pembagian tanggung jawab pada masing-masing wilayah.
"Ini juga artinya menuntut agar Presiden selaku Panglima Tertinggi bersama Panglima segera menentukan Wakil Panglima TNI, karena sesuai pasal-pasalnya salah satu alasan dibentuknya kembali posisi Wakil Panglima adalah dalam kaitan terbentuknya Kogabwilhan, selain Koopsus pun dapat segera digerakkan. Sehingga akan jelas di wilayah tanggung jawab Kogabwilhan mana, Abu Sayyaf case ini harus diselesaikan," tuturnya.
Menurutnya, jika perundingan dalam rangka pembebasan 3 WNI tidak dapat dilakukan, maka pemerintah perlu menghadirkan lebih kekuatan TNI sesuai dengan tuntutan Nawacita.
"Jika perndingan atau upaya persuasif tidak bisa dilakukan maka tidak ada pilihan lain, negara harus hadir melindungi warga negaranya dimanapun mereka berada di seluruh dunia. Yaitu dengan menghadirkan kekuatan TNI outward looking defence, yang sudah harus segera terbangun sesuai tuntutan Nawacita dan visi Poros Maritim Dunia sejak 2014," kata Connie.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah Indonesia terus mengupayakan pembebasan tiga WNI yang disandera kelompok
Abu Sayyaf di Filipina. Dia mengatakan upaya pembebasan tiga WNI ini terus dijalankan.
"Kesimpulannya begini kita akan melakukan langkah-langkah selanjutnya melanjutkan langkah-langkah yang sudah diambil selama ini untuk tetap berusaha membebaskan tersandera tanpa korban jiwa dan tanpa menodai kedaulatan negara kita maupun kedaulatan negara yang bersangkutan," kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Dia mengatakan terkait penyanderaan ini, ada tiga negara yang dilibatkan. Diketahui, WNI yang disandera kelompok
Abu Sayyaf bekerja di perusahaan Malaysia.
Mahfud enggan menjelaskan detail langkah-langkah yang dipersiapkan pemerintah untuk pembebasan ketiga WNI. Mahfud menegaskan pemerintah berkomitmen untuk membebaskan para sandera.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini