Calon Hakim MK Ida Setuju Eks Koruptor Nyapres, Begini Debat di Amandemen UUD

Calon Hakim MK Ida Setuju Eks Koruptor Nyapres, Begini Debat di Amandemen UUD

Andi Saputra, Eva Safitri - detikNews
Jumat, 13 Des 2019 17:22 WIB
Ida Budhiati (dita/detikcom)
Jakarta - Calon hakim konstitusi Ida Budhiati tidak mempermasalahkan mantan narapidana menjadi calon presiden (capres), baik mantan koruptor hingga mantan pembunuh sekali pun. Hal itu menjawab pertanyaan dari panelis dalam wawancara terbuka dengan Pansel MK.

Kekhawatiran mantan napi nyapres ternyata bukan pertama kali terjadi. Hal itu tampak dalam perdebatan amandemen UUD 1945 1999-2002. Sebagaimana detikcom kutip dari 'Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002' tertulis jelas perdebatan tersebut. Apakah mantan napi boleh nyapres atau tidak.


Zain Badjeber dari F-PPP mengusulkan agar salah satu syarat untuk menjadi calon Presiden adalah tidak pernah dihukum dengan pidana penjara karena melakukan tindak pidana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Catatan pada Pasal 6 dan tidak pernah dihukum dengan pidana penjara karena melakukan tindak pidana. Apakah ada orang yang dihukum dengan pidana penjara yang bukan karena tindak pidana, ini kalau ada contohnya. Pasal 6 syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden antara lain dan tidak pernah dihukum dengan pidana penjara
karena melakukan tindak pidana.

Anggota MPR lainnya, Patrialis Akbar setuju mantan napi dilarang nyapres , tetapi dengan satu catatan bahwa ada penekanan dalam pengecualian pidana politik.

"Saya hanya mencoba menggarisbawahi tentang masalah kecuali pidana politik. Ini kelihatannya diangkat betul dalam Undang-Undang Dasar tentang kecuali pidana," kata Patrialis.

Sementara Soetjipto dari F-UG menyetujui apa yang diusulkan oleh Tim Ahli mengenai perincian terhadap persyaratan calon Presiden.

"Jadi rinci di sini karena kita ini kan memilih orang nomor satu di antara 200 juta lebih, sehingga perlu memang persyaratan seperti umur, tidak pernah dipidana kecuali pidana politik. Karena kita tahu bahwa kalau the founding fathers kita memang pernah hampir mengalami semua penjara politik juga, tapi di alam kemerdekaan kan masih juga banyak penjara politik,
sehingga penegasan Tim Ahli sangat bagus," ujar Soetjipto.

Adapun Harjono mengusulkan agar ada batasan tindak pidana apa dan berapa lama ia dipidana penjara yang membuat seseorang tidak bisa mencalonkan diri sebagai Presiden.

"Hanya persoalan yang harus dijelaskan adalah syarat tidak pernah dihukum dengan pidana penjara. Barangkali kita perlu melihat dulu ketentuan-ketentuan tentang pidana penjara ini apa tidak ada satu batas yang bisa kita anggap pantaslah untuk menjadi persyaratan, tidak terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan. Kalau hanya dikatakan tidak pernah dihukum dengan pidana penjara karena range pidana penjara itu bisa waktu yang minimal sampai maksimal. Maksimalnya bisa seumur hidup. Apa kira-kira orang dengan melanggar sesuatu yang dipidana penjara satu, dua minggu katakan saja untuk perbuatan- perbuatan tertentu itu menyebabkan dia tidak bisa dipilih menjadi Presiden," kata Harjono yang kini menjadi Ketua Pansel MK itu.

"Biasanya kalau disyaratkan seperti ini bukan pidananya yang dicantumkan tetapi ancaman pidananya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita itu mengenal sistem bahwa untuk perbuatan ini diancam pidana ini maksimumnya, sedangkan hakim bisa menjatuhkan maksimum itu sampai range yang minimum juga. Persoalan yang harus kita pikir lagi. Saya tidak tahu apakah Pak Tjipno masih hafal banget mengenai ketentuan KUHP tentang ancaman pidana itu," sambung Harjono.

Setelah perdebatan panjang, MPR memutuskan apakah mantan narapidana boleh nyapres atau tidak diatur dalam UU, bukan UUD 1945. Akhirnya Pasal 6 UUD 1945 pasca amandemen berbunyi:

1. Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

2. Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Nah, dalam Pasa 169 UU Pemilu, mantan napi dilarang menjadi capres. Berikut syarat capres sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017:

1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
3. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden adalah Warga Negara Indonesia;
4. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari penyalahgunaan narkotika;

6. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
7. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
8. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
9. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
10. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

11. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
12. terdaftar sebagai Pemilih;
13. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
14. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

15. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
16. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
17. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
18. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;
18. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
19. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.

Nah, dalam pansel wawancara calon hakim MK, perdebatan syarat capres kembali dibuka oleh Ida. Dengan cukup mengejutkan, Ida tidak mempermasalahkan mantan narapidana mau nyapres. Apakah dulunya koruptor, pembunuh, hingga bandar narkoba sekalipun.

"Nah terhadap situasi atau persoalan hukum yang dihadapi jika dia sudah membayar, melunasinya dengan menjalani hukuman yang ditetapkan, sepanjang pengadilan tidak menyatakan mencabut hak politik seseorang," ujar Ida, dalam sesi wawancara, di Gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat.

Menurut Ida, hak politik merupakan hak asasi sehingga tidak bisa dibatasi. Meski orang itu punya rekam jejak mantan pemerkosa atau pelaku kejahatan seksual.

"Maka demi terpenuhinya jaminan hak konstitusional, warga negara, keadilan yang bersangkutan untuk mengisi pemerintahan menurut saya harus diberikan," lanjut Ida.

Pemenuhan hak konstitusional mantan terpidana itu hanya berlaku bagi jabatan yang langsung dipilih oleh rakyat saja. Berbeda dengan jabatan yang tidak dipilih oleh rakyat, seperti menteri.

"Kalau menteri lain, itu berlaku syarat tak pernah dijatuhi hukuman pidana. Pada lingkungan eksekutif yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, tetapi dipilih oleh para aparatur negara maka berlaku karena sistemnya adalah tidak diilih secara langsung sehingga masyarakat tidak bisa terlibat secara langsung untuk melakukan aseesment terhadap calon pejabat publik," katanya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads