Mulanya, wacana pemilihan presiden oleh MPR itu dicetuskan oleh Ketum PBNU Said Aqil Siroj usai melakukan pertemuan tertutup dengan para pimpinan MPR. Menurut Said Aqil, wacana itu merupakan hasil Munas NU di Kempek, Cirebon.
"Tentang pemilihan presiden kembali MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek, Cirebon, 2012," ujar Said Aqil seusai pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan usul itu muncul setelah ada pertimbangan antara manfaat dan dampak negatif pemilihan presiden secara langsung. Salah satunya persoalan biaya yang besar.
"Kiai sepuh, waktu ada Kiai Sahal pas masih hidup, Kiai Mustafa Bisri, menimbang mudarat dan manfaat, pilpres langsung itu high cost, terutama cost spesial. Kemarin baru saja betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan," katanya.
Kendati demikian, berdasarkan dokumen Munas NU di Cirebon Tahun 2012 yang diunduh detikcom di situs NU Online, ternyata hasil Munas bukan terkait pilpres langsung. Munas itu menghasilkan kritik terhadap sistem pilkada langsung.
Mereka yang Tidak Setuju
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tak setuju dengan usul Said Aqil itu. Perludem menilai usulan agar pemilihan presiden dikembalikan ke MPR berpotensi mengulang seperti zaman orde baru (orba). Menurut Perludem, wacana tersebut seolah membuka kotak pandora untuk kembali ke zaman orba.
"Sangat potensial mengulang kembali apa yang terjadi di era orde baru, karena pasti wacana ini tidak akan berhenti di sini. Pasti akan ada lanjutan yang menjadi pembenaran karena pertimbangan biaya, keutuhan bangsa, dan kebutuhan pada figur yang baik," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).
Dia berpandangan, wacana ini bisa membuat pembatasan jabatan hilang. Hingga akhirnya bisa membawa kembali sistem politik Indonesia ke era Orba.
"Maka diskursus selanjutnya soal perpanjangan masa jabatan, lama-lama malah penghapusan sama sekali pembatasan masa jabatan. Maka isu pilpres oleh MPR ini adalah ibarat kotak pandora kita untuk kembali pada era kegelapan orde baru," imbuhnya.
Untuk diketahui, selama 32 tahun berkuasa, Seoharto dipilih sebagai Presiden oleh MPR. Soeharto kemudian dipiih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Mereka yang Setuju
Namun, ada pula pihak yang setuju. Salah satunya ialah Partai NasDem yang mengaku memahami alasan PBNU melempar wacana presiden dipilih MPR. Sebab, menurut NasDem, pemilihan presiden langsung membawa banyak mudarat ketimbang manfaat.
"Sesungguhnya setiap usulan itu pasti memiliki alasan yang jelas. Dalam hal ini PBNU menilai pemilihan presiden secara langsung itu lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat nya. Saya bisa memahami pertimbangan tersebut," kata Ketua DPP NasDem, Irma Suryani Chaniago kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).
Irma mengungkapkan, selama ini pemilihan langsung membawa ekses negatif. Misalnya, kata dia, timbulnya konflik horisontal yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
"Karena konflik horizontal yang ditimbulkan sangat luar biasa pada pemilu 2019 yang lalu, bahkan saking tajamnya hampir saja merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Saya berpandangan pemilihan presiden secara langsung bukan saja menghabiskan biaya tinggi, tetapi juga berisiko tinggi terhadap keutuhan bangsa dan negara," tuturnya.
Sementara itu, PKB menilai usulan PBNU perihal presiden kembali dipilih MPR sebagai arahan. Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid menyebut pihaknya akan memikirkan cara agar semua fraksi yang ada di MPR menerima usulan tersebut.
"Ya tentu Fraksi PKB akan menerima itu sebagai masukan, nasihat, sekaligus kami akan berpikir, apakah nanti ide atau arahan dari PBNU akan diterima dari semua fraksi yang ada," kata Jazilul di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Jazilul menyebut usulan PBNU perihal presiden kembali dipilih MPR adalah hal yang akan dikaji secara mendalam. Namun, dia menegaskan MPR akan berpegang pada aspirasi masyarakat.
"Kami sebagai pimpinan MPR akan mendengarkan, sekaligus memasukkan rekomendasi itu sebagai bahan kajian penting. Tapi akan kembali kepada kehendak masyarakat pada umumnya, karena ini sudah telanjur dengan pemilihan langsung ya, dengan biaya yang besar dengan risiko yang besar," papar Jazilul.
Mereka yang Menunggu Kajian
Tak hanya yang pro dan kontra, ada pula mereka yang menanti adanya kajian terkait wacana ini. Salah satunya ialah Ketua DPR RI Puan Maharani yang menegaskan harus ada kajian terkait manfaat dari usulan tersebut.
"Itu akan dibahas di Komisi II. Wacana tersebut kan masih menjadi satu wacana, yang harus kita lihat itu kajiannya, apakah kita kembali ke belakang, mundur, apakah itu akan ada manfaat ke depan," kata Puan di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Puan menilai sistem pemilihan presiden yang kini berlaku telah berjalan dengan baik. Meskipun, dalam pelaksanannya, ia menyadari masih ada sejumlah permasalahan.
"Tapi kan kita sudah melakukan pemilu langsung ini berkali-kali dan kita sudah, apa namanya, berjalan dengan baik dan lancar. Walau ada case by case yang tidak sesuai harapan kita, itu bukan berarti pemilu tidak berjalan baik dan lancar," sebut politikus PDIP itu.
Sementara itu, PAN memilih berprasangka baik terhadap sikap NU. Namun PAN meminta ada kajian terkait usulan itu.
"Makanya dikaji plus minusnya. Tentu kan PBNU menyarankan seperti itu mungkin sudah melihat bagaimana pilpres selama ini begitu keras berhadap-hadapan. Tapi mungkin usul NU itu bisa jadi masuk akal. Tapi apa disetujui atau tidak ya belum tahu. Tapi kalau anggapan kembali ke Orde Baru harus dikaji lagi juga itu," kata Sekretaris Fraksi PAN DPR Yandri Susanto saat dihubungi, Kamis (28/11/2019).
Yandri menyebut semua usulan, termasuk dari PBNU, masih sebatas perdebatan publik. Menurutnya, sebaiknya semua usulan terkait amandemen terbatas UUD 1945 ditampung dulu.
"Itu kan bagian dari debat publik sekarang apakah presiden tetap dipilih langsung atau tidak, MPR, kemudian perlu 3 periode atau cukup 1 periode tapi tahunnya ditambah atau cukup 2 periode itu kan perdebatan publik. Saya kira itu nggak ada masalah kalau masih sebatas perdebatan. Ditampung aja, nanti dibahas secara baik, secara terbuka, transparan terhadap semua aspirasi itu," kata Yandri.
Hal senada juga disampaikan Partai Golkar. Golkar mengatakan harus ada kajian terlebih dahulu dengan melibatkan masyarakat.
"Itu kan nanti undang-undang pemilih perlu dikaji perlu mendapat masukan dari masyarakat perlu tahu dulu kalau bangsa ini menginginkan seperti itu ya pembuktiannya seperti apa? Artinya ada survei yang resmi untuk kita tahu," ujar Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, di Hotel Merlyn Park, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2019).
Lodewijk mengatakan kajian itu bisa berupa survei lapangan di lingkungan masyarakat luas. Sehingga jika masyarakat setuju pun, hasil surveinya bisa menjadi acuan sebagai dasar yang jelas.
"Diawali dengan survei di lapangan, kita mau ke mana bangsa ini dalam berdemokrasi dan itulah yang kita gunakan sebagai pegangan baru kita usulkan setuju atau tidak, kalau setuju kita mainkan," katanya.
Sementara itu, Pimpinan MPR Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid atau HNW meminta semua persoalan didudukkan pada tempatnya.
"Ya harus didudukkan masalahnya ya. Jadi posisi kami pimpinan MPR kerja kemarin ketemu PBNU, sebelumnya dengan PKS, dengan PAN dan Gerindra, PDIP dan lain sebagainya, itu posisi kami memang dalam rangka silaturahmi kebangsaan mendengarkan masukan dan aspirasi dari warga bangsa, para pimpinan baik itu orpol dan ormas tentang agenda yang direkomendasikan oleh periode sebelumnya, yaitu amandemen terbatas UUD 1945," kata HNW saat dihubungi, Kamis (28/11/2019).
Dalam pertemuan yang disebutkan Hidayat itu, pimpinan MPR mendapatkan banyak masukan. Saat bertemu jajaran petinggi PKS misalnya, HNW mengatakan mereka mendapat masukan, salah satunya agar suara rakyat dipentingkan terkait wacana amandemen terbatas.
Hidayat menyebut usulan PBNU agar pemilihan presiden dikembalikan ke MPR berdasarkan hasil Munas PBNU tahun 2012. PBNU, kata dia, ingin pilpres dikembalikan kepada UUD, bukannya Orde Baru.
"Kemarin ketika kami di PBNU, Ketum PBNU Prof Said Aqil Siradj menyampaikan hasil Munas PBNU di tahun 2012, berarti di zamannya Pak SBY, bahwa hasil keputusan Munas PBNU ya itu, karena mengkaji manfaat dan mudarat daripada pilpres langsung atau tidak langsung, mereka menyimpulkan lebih banyak maslahatnya kalau pemilihan tidak langsung artinya dikembalikan kepada, bukan dikembalikan kepada Orde Baru tapi dikembalikan ke UUD," tutur HNW.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini