Aset First Travel Dirampas Negara, Mahfud: Kami Tak Bisa Ikut Campur

Aset First Travel Dirampas Negara, Mahfud: Kami Tak Bisa Ikut Campur

Eva Safitri - detikNews
Senin, 18 Nov 2019 19:13 WIB
Foto: Menko Polhukam Mahfud Md. (Rolando-detikcom)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menyatakan aset First Travel dirampas negara. Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan pemerintah tidak bisa ikut campur dalam proses itu.

"Itu kan putusan Mahkamah Agung (MA) ya, kita enggak bisa ikut campur," kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (18/11/2019).

"Karena itu putusan MA, kita enggak boleh berkomentar masuk ke substansi," lanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, MA menyatakan aset First Travel dirampas negara. Putusan tersebut diketok oleh ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono.

Dalam pertimbangannya, alasan MA memutuskan aset First Travel dirampas oleh negara adalah:

1. Bahwa terhadap barang bukti Nomor urut 1 sampai dengan Nomor urut 529, Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum sebagaimana memori kasasinya memohon agar barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata melalui Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel berdasarkan Akta Pendirian Nomor 1, tanggal 16 April 2018 yang dibuat di hadapan Notaris Mafruchah Mustikawati, SH, M.Kn, untuk dibagikan secara proporsional dan merata akan tetapi sebagaimana fakta hukum di persidangan ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut

2. Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Putusan itu sangat disesalkan korban dan menandakan ada kesalahan konstruksi berpikir MA. Keadilan dipertanyakan.

"Ada kesalahan dalam konstruksi berpikir dalam putusan MA," kata kuasa hukum korban, Luthfi Yazid, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/11).


Kesalahan pertama, soal subjek hukum. Subjek hukumnya adalah 63 ribu jemaah.

"Apakah 63 ribu melakukan kejahatan? Apa kesalahan mereka sehingga uangnya harus diambil negara? Misalnya si Fulan meminta tolong kepada negara karena uangnya Rp 900 M dirampok sebanyak Rp 600 M. Bukannya ditolong agar Rp 900 M kembali ke si Fulan, tapi malah mau diambil negara. Kesalahan apa yang dilakukan 63 ribu jemaah kepada negara?" cetus Luthfi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads