Pernyataan itu disampaikan Fachrul dalam Dialog Deradikalisasi dan Peluncuran Aplikasi dengan tema 'Pemberdayaan Ekonomi Mantan Narapidana Terorisme Melalui Aplikasi E-commerce Localgov' yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia di Gedung IASTH Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2019). Fachrul mulanya bicara mengenai ketergantungan warga akan gadget.
"Lalu ada kah keterkaitan era disrupsi dengan kondisi keagamaan kita. Jelas ada. Era disrupsi meniscayakan keahlian media sosial secara daring atau online. Kita lihat di setiap tempat dan setiap waktu, kelompok muda dan tua, dengan handphone dan tangan mereka asik bermedsos," ujar Fachrul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan indeks desiminasi media sosial BNPT, sebesar 39,89 orang Indonesia yang menggunakan medsos mencari dan menyebarkan konten tentang agama. Data di atas menunjukkan bahwa hampir setengah masyarakat Indonesia memakai media sosial untuk berinteraksi termasuk persoalan agama.
Menurut Fachrul, internet kini seakan menjadi otoritas agama yang menjadi pilihan alternatif masyarakat. Kondisi ini berbeda dengan generasi sebelumnya.
"Mereka memang masih terbiasa mempersoalkan sesuatu tentang apa yang baik dan tidak baik dengan otoritas yang agama yang ada. Tetapi jika tidak terpenuhi, mereka mencari otoritas yang lain yang diperoleh secara online. Yang kemudian terjadi mereka lebih mandiri dan tidak fokus pada otoritas agama institusional dan lokal tertentu, tapi dengan otoritas agama yang lain global dan transnasional," ujar dia.
Fachrul lantas bicara mengenai tafsir agama dan pilihan-pilihan personal yang berdasarkan narasumber. Atas hal itu, menurut dia, kebenaran tidak lagi tunggal.
"Sering kali pun kita mendengarkan tafsir agama yang mainstream di kalahkan oleh pilihan-pilihan personal yang berdasar narasumber yang tidak otoritatif yang mungkin lebih memenuhi akal sehat mereka. Mereka juga mengacu setiap ajaran dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Akibatnya kebenaran jadi tidak tunggal tapi beragam," ujar dia.
Mantan Wakil Panglima TNI itu juga menyinggung konten keagamaan yang radikal dan mudah diikuti oleh warga tanpa adanya konsultasi keagamaan. Kondisi ini, kata Fachrul, menyebabkan sebagian warga menjadi intoleran.
"Konten-konten keagamaan yang radikal dan ekstrem menjadi mudah mereka ikuti tanpa ada konsultasi dengan otoritas keagamaan tradisional dan nasional yang ada. Akibatnya pemikiran keagamaan sebagian masyarakat kita menuju intoleran dan mudah terpapar ideologi radikal ekstrem atau sebaliknya menjadi supertoleran yang mengganggu sendi-sendi beragama," paparnya.
Atas kondisi tersebut, Fachrul menegaskan pemerintah terus berupaya mengembangkan strategi komunikasi untuk menjangkau milenial agar tak terpapar paham radikalisme. Fachrul mengatakan agama seharusnya dikembalikan menjadi panduan spritualitas.
"Diperlukan langkah-langkah menterjemahkan materi atau yang fundamental dari keberagaman budaya di era disrupsi menjadi konten dan sajian yang lebih mudah dipahami oleh generasi muda milenial tanpa kehilangan bobot isinya dan masuk dalam akal sehat mereka," ujar dia.
"Medsos memberi mereka pilihan pendapat. Namun pemerintah dan otoritas formal wajib mengarahkan mereka pada pilihan terbaik yang memenuhi syariat agama dan manfaat bagi umat dan bangsa Indonesia. Insyaallah dengan keimanan dan akal sehatnya mereka akan memilih pilihan yang terbaik. Bila mereka memilih pilihan yang lain tak sesuai dengan pilihan kita, tidak jadi persoalan. Yang penting semuanya paham kita memiliki pilihan yang berbeda saling menghargai," sambung Fachrul.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini