"Mengadili menolak eksepsi mengenai kompetensi absolut. Dua, menyatakan pengadilan Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara praperadilan nomor 126/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL," kata Krisnugroho di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2019).
Krisnugroho menilai permohonan yang diajukan oleh pemohon pada pokoknya mengenai penetapan tersangka dan proses penyidikan. Hakim berpendapat penetapan tersangka dan proses penyidikan merupakan wewenang praperadilan yang dapat diperiksa di pengadilan negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisnugroho memerintahkan pemohon dan termohon melanjutkan pemeriksaan sidang praperadilan dengan agenda pembuktian. Sidang selanjutnya akan digelar pada Rabu (6/11) dengan agenda pembuktian dari pemohon.
Sidang hari ini dimulai dengan tanggapan pemohon atas eksepsi KPK mengenai kompetensi absolut. Pengacara Dhamantra, Fahmi Bachmid, mengatakan pada intinya permohonannya terkait proses penyidikan.
Istri Protes Kasus Nyoman Dhamantra Disebut OTT:
Fahmi menilai KPK keliru menafsirkan dalil permohonannya dengan menyebut PN Jaksel tidak berwenang mengadili perkara praperadilan yang diajukan. Sebab, pada permohonannya pemohon menilai tindakan KPK dalam proses penyidikan sewenang-wenang, bukan meminta KPK mencabut surat terkait tata usaha.
"Bahwa di dalam petitum permohonan yang diajukan oleh pemohon, tidak ada satu pun permintaan atau permohonan yang disampaikan oleh pemohon untuk meminta kepada hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan termohon untuk mencabut suatu surat keputusan tata usaha negara. Sehingga sangatlah keliru dan tidak berdasarkan hukum apabila termohon (KPK) menyimpulkan perkara a quo adalah perkara yang merupakan ruang lingkup kewenangan/kompetensi absolut peradilan tata usaha negara," kata Fahmi.
Sebelumnya, KPK dalam jawabannya mendalilkan terkait kompetensi absolut. KPK juga meminta hakim menyatakan PN Jaksel tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara tersebut karena KPK menganggap permohonan pemohon seharusnya diajukan ke PTUN.
"Apabila pemohon konsisten dengan dalil-dalil argumentasinya yang mendasarkan pada UU 30/2014 bahwa dalam perkara a quo terdapat penyalahgunaan wewenang dalam membuat keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan ataupun telah timbul sengketa administrasi akibat tindakan hukum yang dilakukan oleh termohon kepada pemohon, maka pemohon seharusnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Tata Usaha Negara," kata tim biro hukum KPK, Togi Sirait, Senin (4/11).
"Dengan demikian, dalil-dalil permohonan praperadilan yang diajukan pemohon adalah keliru, tidak benar dan tidak berdasarkan hukum karena penyalahgunaan wewenang dalam membuat Keputusan sebagaimana diatur dalam UU 30/2014 merupakan lingkup kewenangan/kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karena itu permohonan PEMOHON sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," sambungnya.
Dalam kasus yang berawal dari OTT ini, KPK menjerat Dhamantra, yang saat itu merupakan anggota DPR dari Fraksi PDIP, sebagai tersangka. Dhamantra diduga menerima suap dari Chandry Suanda (Afung), pemilik PT Cahaya Sakti Agro; serta Doddy Wahyudi dan Zulfikar, dari pihak swasta. Suap diduga terkait impor bawang putih.
KPK menduga aksi Dhamantra dibantu oleh orang kepercayaan Dhamantra, yaitu Mirawati Basri serta Elviyanto dari pihak swasta. Pemberi suap dan orang kepercayaan Dhamantra juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
KPK menduga Dhamantra meminta fee Rp 3,6 miliar dan Rp 1.700-1.800 tiap kg lewat Mirawati untuk mengurus izin kuota 20 ton bawang putih. Suap itu diduga berasal dari Chandry dan Doddy.
Duit yang sudah diberikan kepada Dhamantra berjumlah Rp 2 miliar. Duit itu diduga ditransfer lewat rekening money changer.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini