Membaca "Kejutan" Menteri Jokowi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Membaca "Kejutan" Menteri Jokowi

Kamis, 24 Okt 2019 15:32 WIB
Dwi Munthaha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju (Foto: BPMI Setpres)
Jakarta -

Pelantikan menteri baru menjawab rasa penasaran publik tentang susunan kabinet Jokowi-Maruf 2019-2024. Beragam ekspektasi yang muncul intinya mengharapkan terbentuknya zaken cabinet yang disusun berdasarkan keahlian personel-personel terpilih untuk menjawab tantangan bangsa dalam 5 tahun ke depan. Masa pelantikan sudah terlalui, pos-pos kabinet juga definitif sudah terisi, namun ekspektasi publik masih terus mengawang mengikuti kinerja kabinet hingga periodenya selesai.

Peristiwa ini adalah peristiwa yang rutin berulang lima tahunan sejak Orde Baru (Orba) hingga Reformasi. Pemilihan anggota kabinet sangat dipengaruhi oleh budaya politik yang biasa dilakukan untuk kepentingan tersebut. Menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam Civic Culture (1963), budaya politik menjadi terlihat untuk dianalisis jika dilakukan dengan perbandingan-perbandingan. Setelah berakhirnya Orba, apakah terjadi perubahan dalam budaya politik di masa Reformasi?

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memunculkan beberapa variabel dengan indikator-indikator yang menjadi unit analisisnya. Tetapi, sebelum masuk pada budaya politik, kebutuhan khusus yang perlu dipahami adalah pengenalan sistem politik yang berlaku. Menurut Almond dan verba, sistem politik akan memproduksi budaya politik sendiri. Secara ringkas mereka membagi dua, sistem politik totaliter dan sistem politik demokratis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyusunan kabinet pada masa Orba praktis tanpa ketegangan politik yang berarti. Kendali tunggal di tangan Soeharto sebagai presiden yang menghayati secara penuh sistem presidensial, mewajibkan publik menerima dan mengapresiasi tanpa syarat. Minim bahkan absennya kelompok kritis pada masa itu juga konsekuensi dari sistem politik yang berlaku. Berbeda dengan era Reformasi, penyusunan kabinet pascapemilu selalu menjadi diskursus hangat yang terkadang diikuti dengan peristiwa-peristiwa politik panas.

Lingkungan Politik

Teori sistem politik yang dikenalkan oleh David Easton melalui The Political System(1953) yang kemudian diperdalam oleh Gabriel Almond (Comparative Political Systems, 1956) menempatkan lingkungan politik yang mempengaruhi sistem itu bekerja. Lingkungan yang dimaksud ternyata tidak berdiri bebas dalam cakupan wilayah negara, namun juga dunia internasional. Dengan memperluas cakupan analisis tersebut akan terlihat seberapa besar pengaruh dunia internasional pada terbentuknya sistem dan budaya politik dalam negeri.

Di awal-awal Orba, pembentukan kabinet sangat dipengaruhi oleh kepentingan Amerika Serikat (AS) yang menginginkan pengaruh komunisme hilang di Indonesia. Oleh sebab itulah pendekatan keamanan dikedepankan untuk mengikis habis anasir-anasir komunis yang ada di Indonesia. Dalam konteks lingkungan dalam negeri, perekonomian yang porak poranda akibat inflasi yang mencapai lebih dari 500% perlu dibenahi secara efektif.

Terjadi perubahan mendasar; yang tadinya Sukarno anti pada bantuan asing berubah ramah pada investor. Soeharto menerapkan konsep pembangunanisme (developmentalisms). Intelektual-intelektual dari kelompok Berkeley menggawangi sektor ini. Pembangunan infrastruktur besar-besaran dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini Soerharto relatif berhasil; skala makro perekonomian Indonesia membaik.

Di sisi lain, isu demokrasi dan hak asasi manusia tenggelam. Soeharto menciptakan sistem dan budaya politik yang totaliter, yang saat itu dianggapnya benar dan didukung oleh lingkungan politik lintas wilayah, internal, maupun internasional. Secara sederhana, indikator dukungan itu dapat dilihat dari masa berkuasanya yang mencapai 32 tahun melalui 6 Pemilu.

Namun pada akhirnya, Soeharto juga harus menyerah pada tuntutan lingkungan politik. Kecenderungan abuse of power yang semakin meningkat dari waktu ke waktu berakibat pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tidak terkontrol. Dari sana tekanan ekonomi global pun semakin menguat, mengingat terjadinya perubahan tren pasca-Perang Dingin usai.

KKN yang merupakan budaya politik adalah konsekuensi dari pembangunanisme yang mengabaikan partisipasi rakyat. Partisipasi saat itu dimanipulasi dengan keterwakilan rakyat dalam partai politik yang secara sistem pun teramat lemah. Gerakan reformasi kemudian muncul dan mampu mengubah struktur politik. Namun demikian, apakah terjadi perubahan budaya politik?

Struktur politik era Reformasi terbentuk dalam ambiguitas makna. Sistem presidensial masih berlaku, namun sistem multipartai yang bernuansa parlementer juga diakui. Alhasil, dalam melaksanakan kerja, diawali dengan penyusunan kabinet, Presiden sudah tersandera dengan kepentingan-kepentingan partai politik, baik partai pendukung maupun tidak.

Faktor lain, seperti yang sudah disebutkan dalam sistem dan budaya politik, adalah pengaruh dunia internasional. Tuntutan sinkronisasi kepentingan ekonomi global juga dapat dilihat dari susunan kabinet yang ada. Namun demikian, jika menggunakan perspektif ekonomi politik William Liddle (2011), elite politik tetap menentukan pembentukan suatu sistem dan budaya. Determinan faktornya adalah persepsi, kepentingan, dan strategi aktor kunci (elite). Dalam hal ini presiden adalah representasi utama elite politik tersebut.

Dari pidato pelantikan presiden dan penyusunan kabinet dapat dinilai persepsi presiden terhadap kekuasaannya dan visinya tentang masa depan negara. Jika kemudian terjadi yang dianggap kejutan-kejutan di dalam susunan kabinet, hal tersebut bukanlah kejutan jika mampu memahami sistem dan budaya politik yang berlaku dan orientasi kekuasaan presiden.

Partisipasi Publik

Satu hal yang utama dalam demokrasi adalah partisipasi publik. Dalam perkembangannya, sejak Orba dan Reformasi, partisipasi publik belum bergeser secara signifikan. Walau diakui adanya perubahan gaya, dengan perkembangan teknologi informasi, secara substansi hal tersebut masih dalam level dasar, yakni partisipasi saat pemilu.

Selanjutnya, setelah pemilu usai dan terbentuknya kabinet kerja, secara substansial partisipasi publik cenderung menurun. Era keterbukaan yang didukung teknologi informasi hanya mampu memunculkan riak-riak diskursus kritis yang tidak berpengaruh bagi sistem.

Partisipasi yang merupakan domain dari civil society tidak mampu tumbuh kuat karena budaya dari civil society masih terkooptasi oleh elite-elitenya. Elite-elite inilah yang kemudian terperangkap oleh orientasi kekuasaan individual dan gagal menerjemahkan realitas sosial masyarakat ketika terakomodasi dalam kekuasaan formal.

Dari sana mari kita masing-masing memaknai pertanyaan, apakah agenda pembangunan yang akan bekerja lima tahun ke depan adalah berdasarkan realitas kebutuhan rakyat Indonesia, atau realitas tuntutan kepentingan ekonomi global?

Jika ada yang mampu membenarkan pertanyaan pertama, maka pemerintah harus didukung dengan sepenuh energi yang dimiliki oleh semua komponen bangsa. Namun, jika yang terkonfirmasi pembenaran jawaban dari pertanyaan kedua, maka dibutuhkan oposisi yang kuat untuk mengembalikan visi negara ini sesuai dengan mandat awal terbentuknya.

Dwi Munthaha mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads