"Para pejabat negara dan institusi kenegaraan tidak boleh alergi terhadap kritik, tidak boleh alergi terhadap kritik. Karena kritik dan masukan itu menyehatkan untuk kemajuan berbangsa," kata Haedar kepada wartawan di kediamannya, Rabu (23/10/2019).
Pernyataan itu menanggapi kritik sejumlah pihak yang mengkhawatirkan proses check and balance di pemerintahan Jokowi periode kedua tak berjalan maksimal. Lantaran Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra bergabung ke koalisi pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Haedar, kekhawatiran lemahnya check and balance di pemerintahan Jokowi periode kedua harus menjadi catatan bagi kekuatan-kekuatan politik. Jangan sampai kritik dan kekhawatiran semacam itu dibiarkan atau dipandang sebelah mata.
"Jadi masukan, kritik dan kecemasan masyarakat soal politik kekuasaan termasuk check and balance itu harus jadi masukan buat partai-partai politik, baik (parpol) berada di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan," sebutnya.
Lantas Haedar mengingatkan zaman otoritarian di masa Orde Baru (Orba). Kala itu proses check and balance tidak berjalan maksimal, bahkan tidak ada. Akhirnya yang terjadi kekuatan eksekutif menjadi tak terbatas, menutup diri, dan antikritik.
Di luar kekuatan partai politik, kata Haedar, ada beberapa kekuatan penyeimbang yang bisa dipakai masyarakat sipil. Di antaranya media massa, kampus, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat termasuk Ormas Keagamaan.
"Nah, sekarang pertanyaannya apakah dunia media massa itu masih berfungsi sebagai kekuatan check and balance? Itu juga perlu menjadi pertanyaan. Kampus misalnya, apakah kampus juga menjadi kekuatan check and balance?" tuturnya.
"Maka sebenarnya kita belum tuntas soal berdemokrasi. Oke demokrasi prosedural sudah selesai, tetapi konsolidasi demokrasi untuk menjadikan proses demokrasi itu tersistem termasuk adanya check and balance itu harus terus berjalan," pungkasnya.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini