Massa menilai kondisi Gunung Sanggabuana semakin kritis. "Maraknya penambangan dan alih fungsi lahan hutan oleh korporasi, menjadi penyebab meningkatnya kerusakan di Sanggabuana," kata Tricahyo Rere, koordinator aksi saat ditemui di sela demonstrasi, Rabu (9/10/2019).
Dari hasil observasi di lapangan, kata Rere, kawasan Pegunungan Sanggabuana memempunyai lebih dari 100 alur air sebagai sumber kehidupan warga sekitar. Namun banyaknya eksploitasi alam membuat sejumlah mata air menghilang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Massa meminta Pemkab Karawang menolak segala aktivitas pertambangan di Karawang Selatan. Sejak tahun 2014 hingga saat ini, kata Rere, Karawang terus menjadi incaran investor tambang.
Hal itu bisa dilihat dari kronologis penolakan izin usaha tambah beberapa perusahaan, antara lain PT JSI, PT MPB, PT INDORENUS, PT ATLASINDO, bahkan perusahaan sekelas CV.
"Mereka secara sembunyi-sembunyi mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Karawang Selatan. Pertambangan batu gamping, dan batu andesit menjadi masalah krusial yang tidak kunjung terselesaikan," katanya.
Karena itu, sudah seharusnya Bupati Karawang menepati janjinya yang pernah menyatakan tidak akan mengeluarkan izin. "Kami minta Pemkab menolak dengan tegas pengajuan izin pertambangan batu di pegunungan terakhir di Pantura itu," kata Rere.
Pedemo juga memprotes Pemkab Karawang yang dinilai lembek dalam menangani dan menindak kasus lingkungan hidup. Ada sembilan tuntutan yang disuarakan pedemo. Meliputi kasus pencemaran di pesisir, penimbunan plastik impor, sejumlah kasus dumping limbah B3 hingga menolak alihfungsi lahan pertanian yang kian masif.
"Kami menilai Pemkab Karawang tidak pernah serius dalam berbagai kasus dan perlindungan lingkungan di Karawang," kata Rere.
Ia mencontohkan kasus pembuangan limbah B3 di Hutan Kutatandingan beberapa waktu lalu. Kemudian, kata Rere, kasus penimbunan sampah impor Desa Tamanmekar dan Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan.
![]() |
Sampah impor itu digunakan sebagai bahan baku industri kertas. Namun pada kenyataannya, kata Rere, bukan sekadar kertas bekas, melainkan disusupi oleh kontaminan sampah rumah tangga, khususnya sampah plastik dengan persentase mencapai 35%.
Bagi lingkungan hidup hal tersebut sangat membahayakan kesehatan masyarakat, karena kontaminan tersebut membawa bibit penyakit, juga bahan berbahaya dan beracun (B3). "Kasus itu tak jelas ujungnya," kata Rere.
Selain itu, massa juga mendesak Pemkab Karawang untuk menggugat Pertamina atas pencemaran oil spil. Sebab, kata Rere, sudah hampir 3 bulan, masyarakat pesisir Karawang hidup dengan lingkungan yang tidak sehat.
"Kami harap Pemkab berani meminta pemerintah pusat untuk mengaudit Pertamina," tutur Rere.
Massa juga meminta Pemkab berani menindak perusahaan yang mencemari sejumlah sungai di Karawang. Dari rekam jejak pada tahun 2015, kata Rere seluruh sungai di Kabupaten Karawang mengalami pencemaran.
"Namun hingga saat ini permasalahan tersebut belum terselesaikan. Antara lain, pencemaran di bendung Barugbug, Desa Situdam, Kecamatan Jatisari atau sungai Cilamaya yang diduga oleh limbah industri di dua kabupaten, yakni Subang dan Purwakarta," ungkapnya.
Terakhir, massa juga menolak alih fungsi lahan pertanian. Sebab, kata Rere, Karawang mengalami ahli fungsi lahan yang masif. "Lahan pangan khususnya padi menyusut hingga ribuan hektar berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang setiap tahunnya meningkat 10 persen," tandasnya.
Tonton juga video Kebakaran Lahan Gambut Gunung Malabar Merambat ke Gunung Puntang:
(ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini