"Menurut kita ada 10 pokok masalah RUU Pertanahan. Salah satunya soal bab pemidanaan itu," kata Dewi, di kantornya, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (22/9/2019).
Dia mengatakan terdapat pasal karet yang berpotensi akan terjadi kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat dan masyarakat umum. Terutama yang diatur dalam bab Hak atas tanah Pasal 17 ayat 4, Bab Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS (Pasal 84), Ketentuan Pidana (Pasal 86 s/d. 94), dan Ketentuan Lain (Pasal 96).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dewi menyebut RUUP akan memberi legitimasi hukum kepada aparat (PPNS dan polisi) untuk melakukan pemidanaan yang dipaksakan, termasuk pendekatan represif kepada petani atau masyarakat adat. Dengan begitu, akan memperparah korban kekerasan dan kriminalisasi masyarakat di wilayah konflik agraria atau masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah.
Dewi mengaku sudah berkirim surat kepada Kantor Staf Kepresidenan dan bertemu dengan sejumlah partai politik di DPR seperti Fraksi PDIP, PKB dan Gerindra untuk menunda pengesahan RUU Pertanahan. Dia berharap RUU Pertanahan kembali disusun ulang jika pengesahan ditunda untuk dibahas pada DPR periode berikutnya.
"Tentu bahasa hukumnya pasti harus ditunda ya tidak ditolak. Soal nanti prolegnas ke depan 2019-2024 tentu kita ada tuntutan apabila dia masuk lagi menjadi prolegnas itu harus disusun ulang tidak lagi tambal sulam karena ini sudah tidak karuan RUU ini. Bayangkan dalam 1 bulan aja terus berubah, dan hanya tambal sulam hanya geser pasal dan ganti satu kata. Misalnya pasal pemidanaan yang berubah itu hanya dari barang siapa menjadi siapapun, kan lucu," ujarnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini