Berikut 5 pertanyaan penting soal RUU KUHP tersebut sebagaimana dirangkum detikcom dari naskah akademik dan draft RUU KUHP, Kamis (19/9/2019):
1. Mengapa KUHP Perlu Diganti?
Untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti KUHP warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diskursus RUU KUHP telah melintasi 7 Presiden, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi.
Perdebatan penting tidaknya juga telah melampui 19 Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), yaitu Sahardjo, Wirjono Prodjodikoro, Astrawinata, Oemar Seno Adji, Mochtar Kusumaatmadja, Mudjono, Ali Said, ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin, Andi Mattalata, Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin dan kini Yasonna Laolly.
2. Apakah Kritik Presiden Dipenjara?
Pasal 218 ayat 1 menyebutkan:
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," demikian bunyi penjelasan RUU KUHP versi 15 September.
Yang dimaksud dengan 'menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri' pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
"Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena 'menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan' (menyerang nilai universal). Oleh karena itu, secara teoretik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala perse dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisasi) di berbagai negara," ujarnya.
3. Apakah Aborsi Janin Korban Perkosaan Dipenjara?
RUU KUHP hanya menghapus dan mencabut pasal di UU Kesehatan terkait jual-beli organ. Yaitu Pasal 64 ayat (2) dan Pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Baca juga: DPR Sahkan RUU KUHP 24 September |
Adapun pasal-pasal di UU Kesehatan lainnya tidak dihapus, termasuk soal aborsi. Pasal 75 UU Kesehatan selengkapnya berbunyi:
1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
4. Mengapa Hukum Adat Diakui di KUHP?
Untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana.
Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa 'pemenuhan kewajiban adat' setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana. Hal tersebut mengandung arti bahwa standar nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi agar memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Keadaan seperti itu tidak akan menggoyahkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini.
5. Mengapa Semua Hubungan Seks di Luar Pernikahan Dipidana?
Perumusan tindak pidana kesusilaan bersumber dari KUHP dan undang-undang di luar KUHP. Selain itu, dalam merumuskan norma hukum pidana di bidang kesusilaan juga mempertimbangkan hasil penelitian dan masukan dari diskusi kelompok terfokus serta perkembangan hukum dalam yurisprodensi dan praktik penegakan hukum.
Struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan:
1. Norma hukum pidana dalam KUHP yang direformulasi dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan masyarakat hukum Indonesia (konsep hukum tentang zina dan kesusilaan).
2. Norma hukum pidana yang dimuat dalam UU Pornografi, UU ITE, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan menjadi tindak pidana pornografi, pornografi melalui media elektronik, dan pornografi yang melibatkan anak, perkosaan dalam rumah tangga).
3. Norma hukum pidana yang bersumber dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat (tindak pidana hidup bersama tanpa nikah).
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini