Wiranto Kupas Pasal Per Pasal dalam UU KPK Baru yang Jadi Kontroversi

Wiranto Kupas Pasal Per Pasal dalam UU KPK Baru yang Jadi Kontroversi

Lisye Sri Rahayu - detikNews
Rabu, 18 Sep 2019 16:50 WIB
Menko Polhukam Wiranto menggelar jumpa pers untuk merespons pro dan kontra terkait pengesahan revisi UU KPK. (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - Menko Polhukam Wiranto menjelaskan soal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disahkan DPR. Wiranto meminta tidak saling curiga.

"Saya ingin berbicara untuk mendudukkan secara proporsional, jadi saya tidak akan berpihak dan tidak ingin masuk pada wilayah curiga-mencurigai, salah-menyalahkan, debat-mendebat. Mari kita hilangkan dulu kecurigaan terhadap lembaga negara yang mengolah masalah ini," kata Wiranto di gedung Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).

Wiranto mengimbau untuk tidak curiga, baik kepada DPR maupun pemerintah. Wiranto mengajak masyarakat menghilangkan kecurigaan itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Misalnya DPR, jangan kita curiga dulu seakan-akan DPR akan balas dendam karena banyak anggota DPR yang terlibat masalah korupsi dan terungkap oleh KPK. Juga jangan curiga pada pemerintah, pada presiden yang seakan-akan beliau ingkar janji dan seakan-akan beliau tidak pro pada pemberantasan korupsi dan sebagainya. Itu kita hilangkan dulu," ujarnya.


Wiranto mengajak masyarakat mencerna alasan harus ada revisi terhadap UU KPK yang telah berusia 17 tahun. Wiranto menjelaskan UU dibuat karena kondisi objektif saat pembuatan UU tersebut.

"Tapi kondisi ini berubah, tatkala kondisi ini berubah UU tak boleh kaku. Apa itu perubahan karena opini publik atau kepentingan masyarakat. Ini yang harus kita sadari UU secara alami harus mengalami perubahan. Sekarang perubahan sudah berlangsung UU KPK," ujarnya.

Untuk itu, Wiranto menjelaskan pasal-pasal yang menjadi perdebatan di masyarakat.

"Saya akan menyampaikan butir-butir yang saat ini debatable di masyarakat. Ada kecurigaan tuduhan coba saya akan masuk pada pembenaran secara proporsional," ucapnya.

1. Pasal 1 angka 3 dan pasal 3 tentang masalah kelembagaan

Wiranto mengatakan lembaga KPK masuk ranah eksekutif, berdasarkan keputusan MK No 36 PUU/XV/2017. Dia menegaskan putusan MK itu sudah final. Jadi, katanya, ketentuan ini bukan mengada-ada, melainkan hanya melaksanakan putusan MK.

"Walaupun KPK masuk ke ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah tapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya kan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, namun tentu sebagai suatu lembaga pemerintah harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang ada. Dan itu UU dari MK yang harus ditaati bersifat final dan mengikat," tuturnya.

Karena sudah jadi putusan MK, Wiranto mengatakan hal itu harus diterima. Sebab, Wiranto yakin MK sudah melalui berbagai pertimbangan dalam memutuskannya.

"Sehingga tatkala MK menerima masuk ke ranah eksekutif, kita terima. Karena itu satu keputusan MK yang sudah melakukan satu pertimbangan-pertimbangan yang kita yakin mantap," katanya.

2. Pasal 37E tentang Pembentukan Dewan Pengawas KPK

Dalam sistem demokrasi, Wiranto mengatakan tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Bahkan, katanya, kekuasaan Presiden sekalipun ada yang membatasi.

"Apalagi lembaga di bawah presiden, sehingga perlu adanya pasal 37, KPK perlu di bawah dewan pengawas," ujarnya.


Wiranto mengatakan pembentukan dewan pengawas untuk memastikan tugas KPK sesuai dengan tugas fungsi. Dia mencontohkan komisi kejaksaan yang mengawasi kejaksaan dan Kompolnas yang mengawasi kinerja kepolisian.

"Sehingga kalau dalam KPK pun sebagai bagian dari aparat penegak hukum ada pengawasannya bukan melemahkan tapi mendudukkan KPK punya legitimasi. Di sini orang keliru itu dilemahkan ada pengawasnya," tuturnya.

"Dewan pengawas itu tujuan kesewenang-wenangan tidak ada, tidak akan terjadi abuse of power," imbuhnya.


3. Pasal 12b tentang Penyadapan

Wiranto menjelaskan pelaksanaan penyadapan sesuai dengan dewan pengawas didasari aturan yang ada. Hal itu, katanya, tidak menyimpang dari rule of law dan memberikan penguatan kepada HAM serta menjaga akuntabilitas dalam melaksanakan penyadapan.

"Sebenarnya kalau kita bicara HAM penyadapan itu kan melanggar hukum, hak pribadi seseorang dilanggar dengan apa yang diucapkan, apa yang dibicarakan disadap, itu kan melanggar hukum. Tapi untuk kebutuhan penyidikan tentang pidana korupsi itu diizinkan," ujar dia.


Namun, jika izin itu tidak terbatas, katanya, akan timbul tuduhan sewenang-wenang. Karena itu, harus ada pembatasan melalui izin dari dewan pengawas.

"Karena justru dengan adanya izin, maka menghindari tuduhan bahwa KPK mengada-ada, sewenang-wenang, seenaknya. Karena ada dewas tadi yang memberikan justifikasi bahwa penyadapan didasarkan pada satu kepentingan yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan. Itulah mengapa kita katakan bahwa dalam penyadapan, itu pun tatkala ada izin dari dewan penyadapan itu justru memperkuat posisi KPK," ujarnya.

4. Pasal 40 tentang Mekanisme Penghentian Penyidikan dan Penuntutan

Wiranto mengatakan penghentian penyidikan dan penuntutan merupakan bagian dari penyelesaian penanganan perkara. Tujuannya memberikan kepastian hukum.

"Artinya apa? Tidak mungkin kita menggantungkan status orang menjadi tersangka dalam kurun waktu yang tak terbatas. Tidak ada satu kepastian tidak mungkin kita menyandera orang menjadi tersangka dengan tidak jelas jangka waktunya, bahkan sampai mati," ucapnya.

"Orang sampai mati sebagai tersangka belum terbukti, belum diadili tapi masuk liang kubur menjadi tersangka sebagai tindak pidana korupsi. Ini kan justru melanggar HAM," ujarnya.

Maka, menurutnya, KPK bisa menghentikan penuntutan ini merupakan bentuk penguatan KPK. Kewenangan itu semula hanya dimiliki Jaksa Agung, tapi kini diberikan kepada KPK.

"KPK mempunyai suatu kewenangan untuk menghentikan satu penyidikan dengan jangka waktu satu tahun usulan pemerintah, mungkin dua tahun nanti kita lihat pastikan. Tapi harus ada kepastian bahwa seseorang tatkala ditetapkan sebagai tersangka itu harus diselesaikan dengan hukum," ujarnya.

"Jadi sebenarnya ini juga bukan melemahkan KPK, tapi justru menempatkan KPK sebagai satu aparat penegak hukum yang humanis walaupun tegas tapi tetap memperhatikan HAM," ujarnya.

5. Pasal 43A mengenai koordinasi kelembagaan dengan lembaga lain

Wiranto menjelaskan koordinasi itu seperti melaksanakan diklat pelatihan penyelidikan. Kata Wiranto, aturan itu untuk memberikan standardisasi profesionalitas dalam penegakan hukum.

"Nah ini semua saya kira harus kita sikapi sebagai upaya penguatan, sehingga nanti kalau itu dilaksanakan, maka aparat penegak hukum mempunyai standar yang sama tentang aparat-aparat petugas yang melaksanakan penyelidikan maupun penyidikan," ujarnya.

6. Pasal 47 tentang penggeledahan dan penyitaan

Wiranto memaparkan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan lazimnya dalam hukum acara pidana harus mendapat persetujuan dari pengadilan. Dalam RUU KPK, di samping tunduk pada KUHP, juga disyaratkan adanya izin tertulis dari dewan pengawas.

"Nah banyak orang katakan mekanismenya tambah panjang, tambah nggak jelas nanti. Padahal sebenarnya, maksudnya juga positif. Maksudnya memperkuat, tidak ada tuduhan bahwa KPK sewenang-wenang dalam penggeledahan dan penyitaan," ujarnya.

Sebab, ada badan yang juga bertanggung jawab atas itu, yakni dewan pengawas. Tujuannya agar pelaksanannya sesuai dengan proses hukum.

"Sehingga penyitaan dan penggeledahan itu, itu dari kacamata hukum sah. Dari akuntabilitas, dari tuduhan sewenang wenang, seenaknya, itu bisa dihilangkan," ujarnya.

7. Tentang sistem kepegawaian KPK

Wiranto mengatakan sistem kepegawaian KPK ini tertuang dalam Pasal 1 angka 6 dalam RUU KPK. Sesuai dengan pasal 1, KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

"Karena bagian dari lembaga negara, dalam rumpun eksekutif, yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga status pegawai KPK, juga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN," tuturnya.


Wiranto menekankan aturan ini lebih memastikan bahwa sebagai bagian dari aparatur sipil negara, langkah-langkah, kegiatan, dan aksinya sudah diperkuat dengan adanya Undang-Undang ASN.

"Dia bukan terlepas, dia bukan organisasi yang liar, dia bukan aparat-aparat yang tidak didukung oleh undang-undang," jelasnya.

"Artinya, untuk memberikan kepastian hukum kepada pegawai KPK, dan ASN itu diberikan waktu 2 tahun untuk diangkat jadi ASN, ini sudah sesuai juga dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Halaman 2 dari 4
(idh/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads