Ibu beranak tujuh itu tampak sibuk memilah-milah botol bekas di gubuk tak berdinding miliknya. Di sana terlihat juga beberapa karung berisi botol bekas dan kardus. "Sekarung ini paling hanya 3 kiloan," kata Rohaeni, Kamis (12/9/2019).
Pekerjaan ini telah ia dan suaminya lakoni sejak empat bulan lalu, tepatnya saat air Situ Ciburuy, yang menjadi sumber utama pengairan sawah garapan, surut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengaku merugi hingga Rp 6 juta akibat kekeringan ini. Uang itu adalah biaya yang gunakan untuk membeli benih dan pupuk tanaman padi. "Lahannya bukan punya saya, saya tidak punya lahan. Jadi sistemnya bagi hasil saja," tuturnya.
Menjadi pemulung rongsokan adalah pilihan terakhir yang ia punya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Memang uang yang ia dapat tak seberapa, hanya sekitar Rp 10 ribu per hari.
Untuk satu kilogram botol bekas dan kardus, pengepul membelinya dengan harga Rp 2.500. Per hari, ia dan suaminya hanya bisa mendapatkan sekitar 4 kilogram botol dan kardus.
"Kalau ada (pengepul) yang beli rongsokan baru bisa punya uang untuk makan. Saya juga jual kayu bakar. Yang penting kerja yang halal saja, alhamdulillah walau sangat pas-pasan," ucapnya.
![]() |
Untuk lauk pauk makan sehari-hari, anak-anak pasangan lansia itu turut membantu. "Ya kalau nasi kami cari sendiri, lauk pauk dari anak-anak," katanya. (tro/tro)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini