Seperti dilansir AFP, Rabu (11/9/2019), meski telah tercapai kesepakatan antara Bangladesh dan Myanmar pada November 2017, namun tidak ada satupun pengungsi Rohingya yang bersedia kembali ke Myanmar.
Diketahui sedikitnya 740 ribu pengungsi Rohingya kini tinggal di kamp-kamp yang ada di wilayah Cox's Bazar, Bangladesh. Kebanyakan dari mereka melarikan diri dari operasi militer Myanmar yang sarat kekerasan di wilayah Rakhine, yang merupakan tempat tinggal kebanyakan warga Rohingya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekretaris Jenderal Asosiasi Operator Telekomunikasi Seluler Bangladesh, SM Farhad mengatakan, pemerintah Bangladesh telah menginstruksikan kepada para operator untuk mematikan jaringan 3G, 4G dan LTE di area-area kamp Rohingya di Teknaf dan Ukhia, yang sama-sama ada di Cox's Bazar.
Teknaf dan Ukhia yang merupakan kota perbatasan itu, menjadi lokasi bagi puluhan kamp pengungsian yang ditinggali pengungsi Rohingya dalam kondisi memprihatinkan. Ditambahkan Farhad bahwa layanan 2G 'akan tetap aktif'.
Namun seorang peneliti kebijakan senior pada think tank LIRNEasia, Abu Saaed Khan, menuturkan kepada AFP bahwa mematikan jaringan 3G, 4G dan LTE 'secara efektif berarti mematikan internet'. "Dengan jaringan 2G akan menjadi yang paling tidak mungkin untuk diakses," sebutnya.
Pihak operator telekomunikasi seluler di Bangladesh telah menghentikan penjualan kartu-kartu SIM di area kamp pengungsi Rohingya dan memutuskan jaringan 3G dan 4G pada Selasa (10/9) sore sekitar pukul 17.00 dan pukul 18.00 waktu setempat.
Otoritas telekomunikasi Bangladesh pada 3 September lalu memerintahkan perusahaan-perusahaan telepon untuk memutus sementara akses seluler ke kamp Rohingya, dengan alasan keamanan sebagai penyebabnya. Langkah yang diambil otoritas Bangladesh ini mengejutkan para pengungsi Rohingya dan mengganggu komunikasi di antara kamp berbeda, serta komunikasi dengan warga Rohingya yang masih ada di Myanmar.
Secara terpisah, kelompok pembela HAM, Human Rights Watch (HRW), mendorong pemerintah Bangladesh untuk mengakhiri pembatasan komunikasi. HRW menyebut hal itu 'membuat situasi semakin buruk'. "Otoritas seharusnya mengambil pendekatan berkepala dingin, bukannya memberi reaksi berlebihan terhadap ketegangan dan aksi protes dengan mengisolasi pengungsi Rohingya di kamp-kamp mereka," kata HRW.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini