"Kita datang ke rumah kita sendiri untuk menyampaikan aspirasi kepada Pengurus DPP. Namun, sama seperti sebelumnya, kita tidak diizinkan masuk ke dalam kantor DPP. Kalau memang kami tidak boleh masuk," ujar Ketua PP AMPG Adi Baiquni kepada wartawan, Sabtu (7/9/2019).
Adi pun menyesalkan pelarangan itu. Dia juga menyayangkan sikap Ketum Golkar Airlangga Hartarto, yang tengah berada di Kantor DPP, yang enggan menemui massa AMPG pro-Bamsoet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Adi juga menyesalkan pelarangan pengurus dan anggota DPP Partai Golkar untuk masuk ke kantor DPP. Hal itu, menurut dia, menunjukkan bahwa Airlangga memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter, diskriminatif, serta menjadikan Partai Golkar nyaris sebagai milik pribadi, telah memicu konflik dan perpecahan dalam tubuh Partai Golkar.
Sebelumnya, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Tengah I kepengurusan DPP Golkar Nusron Wahid bersama rekan-rekannya mengaku tak bisa memasuki kantor DPP. Namun DPP Golkar telah membantah pengakuan Nusron.
"Kantor DPP Golkar yang harusnya menjadi rumah bersama bagi seluruh kader Golkar, justru dijaga oleh sekelompok preman berseragam AMPG. Bahkan, kantor DPP telah menjadi lokasi perbuatan tak terpuji karena dipakai untuk arena perjudian. Jelas ini tidak boleh dibiarkan," katanya.
![]() |
Tak hanya itu, Adi pun menyoroti sikap Airlangga yang memberhentikan sejumlah ketua Golkar di kabupaten/kota tanpa melalui mekanisme yang benar. Adi mengatakan hal itu makin menunjukkan sikap otoriter Airlangga.
"Mulai dari mem-PLT sejumlah ketua DPD II, merotasi pimpinan Komisi di DPR RI, hingga me-remove atau mengeluarkan anggota pleno dalam grup WA Partai Golkar. Kasus terbaru, melakukan penekanan terhadap DPD Partai Golkar se-Jawa Barat agar melakukan sumpah di bawah kitab suci Alquran untuk mendukung Airlangga dalam Munas Partai Golkar," tuturnya.
"Ditambah lagi dengan sikap loyalis yang membela secara membabi buta dengan mengatakan bahwa Airlangga memiliki Hak Veto layaknya seorang Presiden. Padahal, dalam partai yang menganut sistem demokrasi seperti Partai Golkar, tidak pernah mengenal kata 'hak veto', melainkan semuanya didasarkan pada musyawarah mufakat," imbuh dia.
Lebih lanjut, Adi juga kembali mempertanyakan keputusan Airlangga yang tetap tidak mengadakan Rapat Pleno meski telah didesak berkali-kali oleh Pengurus Harian dan Pengurus Pleno DPP Partai Golkar. Padahal, kata dia, berdasarkan peraturan organisasi SK Nomor 148 Tahun 2016, rapat pleno harus dilaksanakan minimal setidaknya dua bulan sekali.
"Bahkan sampai tahap mosi tidak percaya dinyatakan oleh 143 unsur pengurus DPP Partai Golkar, namun Airlangga tidak pernah menghiraukannya. Padahal, berdasarkan peraturan organisasi SK Nomor 148 Tahun 2016, rapat pleno harus dilaksanakan minimal setidaknya dua bulan sekali. Di samping itu, kegagalan Airlangga dalam menakhodai Partai Golkar harus menjadi bahan evaluasi kita bersama. Airlangga telah gagal mencapai target suara dan kursi Golkar di Pemilu 2019. Karenanya, kami meminta segera dilakukan rapat Pleno untuk mengevaluasi seluruh kinerja Ketua Umum Golkar serta membahas agenda Golkar ke depan," tutur Adi.
Sebelumnya, AMPG pro-Bamsoet juga pernah menggeruduk kantor DPP dan tak diizinkan masuk. Bahkan saat itu massa AMPG pro-Bamsoet sempat menggembok kantor DPP Partai Golkar karena tak diizinkan masuk.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini