Jakarta - DPR RI telah menyepakati rencana revisi UU
KPK menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna. Transparency International Indonesia (TII) khawatir dengan sejumlah poin dalam draf revisi UU
KPK tersebut.
Peneliti TII, Alvin, awalnya menyebut kesepakatan untuk merevisi UU 30/2002 tentang KPK di ujung masa jabatan DPR 2014-2019 memperlihatkan adanya upaya pelemahan KPK secara sistematis. Dia menyebut komitmen pemerintah dan DPR dalam menjaga independensi KPK sangat minim.
"Kesepakatan untuk kembali merevisi UU KPK ini, terlebih di ujung masa bakti DPR 2014-2019, semakin memperlihatkan adanya upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis," kata Alvin dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (6/8/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia kemudian menyoroti sejumlah masalah dalam poin-poin draf revisi UU KPK. Pertama terkait sumber daya pegawai KPK yang dinilainya tak lagi mencirikan KPK sebagai lembaga independen.
"Di dalam naskah RUU KPK, pegawai KPK dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian (pasal 1 ayat 7). Poin revisi ini tentu tidak relevan dengan semangat penguatan lembaga antikorupsi berdasarkan mandat UNCAC maupun Prinsip-prinsip Jakarta. Ketergantungan secara institusi akan mempengaruhi KPK dalam menjalankan tugasnya," ujarnya.
Alvin turut mempermasalahkan poin yang mengatur penyelidik KPK hanya berasal dari Polri. Dia menilai hal itu bisa menimbulkan loyalitas ganda dari para penyelidik.
"Penyelidik hanya berasal dari Polri (pasal 43 ayat 1). Kebijakan ini tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Padahal pegawai yang mandiri merupakan prasyarat penting yang tidak boleh diabaikan guna menciptakan penegakan hukum korupsi yang efektif. Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru dapat menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK," tuturnya.
Keberadaan aturan soal proses rekrutmen lewat Polri, Kejaksaan Agung dan instansi yang membawahi penyidik PNS draf revisi UU KPK juga dinilainya mengkhawatirkan. Dia mengatakan cara rekrutmen tersebut bisa menimbulkan konflik kepentingan jangka panjang.
"Selama ini KPK secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan. Bahkan KPK telah menjalin kerja sama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik serta penyidik diwajibkan melalui skema institusi tersebut, maka kondisi ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang," jelasnya.
Keberadaan Dewan Pengawas yang kewenangannya diatur dalam draf revisi UU KPK itu juga dianggap berpotensi mengancam proses penegakan hukum oleh KPK. Dia menyebut selama ini KPK memilik pengawasan internal yang ketat lewat penasihat KPK, Kedeputian PIPM dan Wadah Pegawai KPK serta pihak eksternal seperti Presiden, DPR, BPK dan masyarakat.
"Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan integritas internal KPK mendapatkan skor baik (78%). Sehingga seharusnya semua stakeholders fokus pada penguatan mekanisme penguatan yang sudah ada, bukan menambah satu unit atau badan tertentu," ujarnya.
Dia juga khawatir dengan kewajiban izin penyadapan. Menurutnya, selama ini KPK sebagai lembaga antikorupsi punya kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin karena korupsi tergolong tindak pidana khusus.
"Mekanisme ini merupakan kewenangan khusus yang diberikan untuk menanggulangi kejahatan khusus, di mana hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap suatu perkara. Sehingga ketentuan baru agar KPK harus meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas ketika akan melakukan penyadapan (pasal 12B), merupakan suatu bentuk intervensi politik yang mengganggu independensi proses penegakan hukum," ujar Alvin.
Semua poin itu dianggapnya sebagai upaya nyata memperlemah kelembagaan KPK. Rencana revisi tersebut juga dianggap mengabaikan fakta Indonesia masih berada di 30 persen negara terkorup dunia yang tercermin dari indeks persepsi korupsi yang kenaikannya stagnan.
"Faktor utama stagnasi ini terletak pada masih maraknya korupsi dalam sistem politik melalui jual beli suara, politik uang, dan kleptokrasi serta praktik suap dalam sektor bisnis atau usaha. Sehingga mengurangi kewenangan KPK justru kontraproduktif dengan situasi korupsi yang dihadapi Indonesia saat ini," tutur Alvin.
Untuk itu, TII mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak pembahasan revisi tersebut. Jokowi sebagai presiden diminta tidak boleh tidak tahu atas RUU inisiatif DPR tersebut.
"Transparency International Indonesia mendesak agar Presiden untuk menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan surat presiden (surpres). Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK ini dan sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan Presiden ke DPR," ucap Alvin.
DPR juga diminta segera menarik rencana revisi UU KPK yang telah disepakati. Jika revisi benar-benar terjadi sesuai draf revisi UU KPK yang sudah ada, maka hal ini bisa berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
"DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. Poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia," pungkasnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini