Sebagaimana diketahui, meski tetap dipertahankan, tapi ancamannya menjadi lebih ringan. Dalam RUU KUHP, ancaman maksimal 9 tahun penjara. Dalam KUHP saat ini, ancaman maksimalnya 12 tahun penjara.
Pasal 344 KUHP berbunyi:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah tentang perdebatan soal eutanasia sendiri sudah merentang jauh sejak zaman Yunani Kuno. Begini sejarahnya dikutip detikcom dari laman Euthanasia Procon, Rabu (4/9/2019):
Abad 5 SM - Abad ke-1 SM
Orang Yunani dan Romawi Kuno Cenderung Mendukung Eutanasia
Perdebatan tentang eutanasia sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno di abad kelima Sebelum Masehi. Di Yunani dan Roma kuno, sebelum kedatangan agama Kristen, pembunuhan bayi, eutanasia dan bunuh diri cenderung ditoleransi. Karena, pada saat itu belum ada nilai yang begitu melekat terhadap kehidupan masyarakat.
Kendati begitu, ada sumpah Hipokrates yang bunyinya melarang dokter memberikan 'obat mematikan kepada siapa pun, bahkan jika diminta'.
Abad 13 - Abad Pertengahan
Kristen dan Yahudi Cenderung Menentang Eutanasia
Memasuki awal abad ketiga belas, eutanasia cenderung ditolak. Mereka yang paling keras menolak adalah orang Kristen dan Yahudi. Salah satu tokoh Katolik dan filsuf, Thomas Aquinas. Thomas mengutuk eutanasia karena bunuh diri, bagaimana pun caranya, tetap dianggap melanggar kewajiban seseorang sebagai manusia.
1930-an
Dukungan Publik untuk Eutanasia Meningkat saat Amerika Serikat Dilanda Depresi Hebat
Memasuki era modern, eutanasia memasuki perdebatan baru. Ketika Amerika Serikat (AS) dilanda depresi ekonomi hebat, banyak orang AS yang mendukung eutanasia.
Jajak pendapat publik menunjukkan pada tahun 1937 bahwa sepenuhnya 45 persen orang Amerika mendukung eutanasia.
2002 - 2017
Dari Belanda, Belgia dan Indonesia
Pada tahun 2001, Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan eutanasia dalam undang-undangnya. Namun, untuk memperoleh izin eutanasia, ada kriteria yang harus dipenuhi. Misalnya, hanya memperbolehkan pasien yang berumur di atas 12 tahun yang boleh mengajukan permohonan suntik mati. Langkah ini kemudian juga diikuti oleh Belgia. Belgia melegalkan eutanasia pada tahun 2002 dalam undang-undangnya.
Pada November 2017, Victoria menjadi wilayah pertama Australia yang melegalkan kematian dengan bantuan dokter, bagi para pasien yang menderita sakit parah. Mulai pertengahan 2019, pasien berhak meminta obat demi mengakhiri hidup.
Awal tahun 2018, seorang dokter asal Australia, David Goodall memutuskan untuk pergi ke Swiss dengan tujuan untuk mengakhiri hidupnya secara legal.
Di Indonesia, warga Bogor, Panca Satrya mengajukan permohonan euthanasia atas istrinya, Agian Isna pada 2004 ke pengadilan tapi ditolak. Agian mengalami kerusakan saraf permanen di otak.
Pada 2017, Berlin Silalahi yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh untuk diizinkan euthanasia. Ia mengalami lumpuh dan menderita sakit kronis. Permohonan tersebut ditolak.
2019
Komnas HAM berharap Eutanasia dilegalkan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap lebih jauh agar Indonesia melegalkan eutanasia. Namun, tetap ada prosedurnya.
"Komnas HAM berharap dalam kondisi tertentu, ada prosedur yang legitimate, eutanasia diperbolehkan," kata komisioner Komnas HAM Choirul Anam kepada wartawan, Selasa (3/9/2019).
Komnas HAM mendasarkan harapannya pada perkembangan hukum dunia internasional. Menurutnya, banyak negara yang telah mulai melegalisasi eutanasia. Indonesia perlu menuju arah perkembangan yang sama.
"Perkembangan hukum mengarah pada legalisasi eutanasia, dengan alasan kesehatan yang ketat dan merupakan pilihan sukarela atas itu. Pelaksanaannya pun diatur sedemikian rupa untuk memastikan kondisi, pilihan sukarela, dan prosedur yang akan digunakan," tutur Choirul.
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini