"Kami sebagai penerima manfaat itu kami mensyukuri" ucapnya senang kepada detikcom, Selasa (13/8/2019).
Terbayang oleh Marthin betapa dia saat belum mendapat perahu penolong ini. Dia harus mendayung perahu yang begitu berat. Bukan cuma itu tantangannya, dulu sebelum ada perahu penolong bermesin ini, dia harus berlomba dengan maut. Saat tiba-tiba dihadang badai dan angin, apalah yang bisa diandalkan dari perahu dayung yang hanya bertumpu pada kekuatan otot tangan. Benar saja, saat itu, Marthin pun terhempas dan terpaksa merapat di pulau terdekat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Cerita sedih, memang kerap dialami para nelayan. Hilang ditelan ombak menjadi risiko yang harus siap dihadapi. Terlebih di Siau, ada 3 angin yang mempengaruhi keselamatan nelayan. Di sini lah perlu navigasi dan pengenalan waktu terbaik untuk melaut.
"Kalau angin selatan itu ke arah Filipina, kalau angin utara ke Manado, angin barat ke Ternate. Waktu banyak gelombang bisa sampai ke Filipina. Dulu perahu tidak ada mesin. Melaut sudah jauh lepas dari Siau yang banyak orang tua kena badai dan gelombang, dia tenggelam. Ada juga keluarga tidak pulang 4 hari 4 malam tertimpa badai barat mesin tenggelam ditemukan di Pulau Talaud," tambah Marthin lagi.
Risiko-risiko inilah yang kapanpun bisa menghampiri Marthin. Namun dia tak ada pilihan lain selain setia pada laut. Sudah sejak kecil dirinya ikut melaut bersama ayahnya, bahkan pernah menggantungkan citanya bukan sebagai nelayan tapi pelaut di kapal besar dan mewah. Tapi apa daya, tak ada biaya jadi alasan utamanya. Cita-cita pun tinggal cita-cita yang dia biarkan menggantung.
Kakek yang sudah punya cucu ini hanya berusaha menjalani hari tuanya dengan semangat pergi menjaring ikan di laut. Meski kerap kali keluarga meminta berhenti setia pada laut.
"Apa boleh buat karena menghidupkan keluarga karena ini. Ini sudah profesi, mereka teman saya juga yang muda mengadu nasib di laut. Ada yang melarang tapi kita sudah waktu laut tenang. Menghidupkan keluarga dari laut jadi bagaimanapun badai saya pasrah pada Tuhan karena jika ada tuhan biar hanyut kemana pasti ada yang menemukan," ucapnya pasrah tanpa beban.
Namun sekarang nasibnya lebih baik, dia tak harus lagi menjaring berhari-hari di tengah laut karena perahu sudah bermesin jadi dia pun bisa pulang dengan lekas.
Semua berawal dari dana desa dari Desa Binalu, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara. Desa tersebut, sejak tahun lalu menganggarkan dana desanya untuk membuat perahu penolong untuk 5 orang nelayan. Di tahun ini, akan ada 7 tambahan perahu lagi untuk nelayan. Ditargetkan semua nelayan di desa ini akan mendapatkan bantuan perahu nelayan tersebut.
Desa Binalu pada 2019 memperoleh jatah dana desa Rp 868.762.000 dan pada tahun 2018 sebesar Rp 748.716.000 ribu. Dana desa untuk perahu penolong dianggarkan sekitar 5 persen selebihnya masih fokus untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur desa. Untuk mengetahui informasi lainnya dari Kemendes PDTT klik di sini.
(mul/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini