Di antara 104 kandidat capim KPK itu memiliki latar belakang sebagai penyelenggara negara yang wajib menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun berdasarkan data KPK, 65 dari 104 kandidat yang berlatar profesi penyelenggara negara itu rupanya tidak patuh akan LHKPN.
Hal itu terungkap dari data KPK per Jumat, 2 Agustus 2019. Berikut rinciannya:
- Baru sekali melapor LHKPN 11 orang;
- Sudah 2 kali melapor LHKPN 9 orang;
- Sudah 3 kali melapor LHKPN 15 orang;
- Sudah 4 kali melapor LHKPN 14 orang;
- Sudah 5 kali melapor LHKPN 7 orang;
- Sudah 6 kali melapor LHKPN 5 orang;
- Sudah 7 kali melapor LHKPN 1 orang; dan
- Sudah 9 kali melapor LHKPN 1 orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan dari segi harta kekayaan, KPK memberikan kategori terbawah Rp 0 - Rp 100 juta dan tertinggi Rp 100 miliar - Rp 400 miliar. Berikut datanya:
1. Rp 0 - Rp 100 juta: 1 orang (1,54 persen);
2. Rp 100 juta - Rp 1 miliar: 13 orang (20,00 persen);
3. Rp 1 miliar - Rp 10 miliar: 41 orang (63,08 persen);
4. Rp 10 miliar - Rp 32 miliar: 9 orang (13,85 persen); dan
5. Rp 100 miliar - Rp 400 miliar: 1 orang (1,54 persen).
Direktur LHKPN KPK Isnaini mengatakan pelaporan LHKPN itu sejatinya suatu kewajiban bagi penyelenggara negara. LHKPN ini sebagai bukti transparansi pejabat negara.
"LHKPN sebagai suatu kewajiban undang-undang tujuan pertama adalah untuk mendapatkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN," kata Isnaini dalam diskusi 'Pelaporan Kekayaan Penyelenggara Negara Dalam Seleksi Pimpinan KPK' di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (2/8/2019).
Isnaini juga mengatakan LHKPN bisa dijadikan sebagai alat pengawasan penambahan jumlah harta-harta pejabat. Selain itu, LHKPN juga menjaga transparansi.
"Ini bisa jadi instrumen akuntabilitas penyelenggara negara," kata Isnaini.
Simak Juga 'ICW Minta Pansel Soroti Integritas dan Rekam Jejak Capim KPK':
(dhn/dhn)