Bali - Video seorang
turis mancanegara mengusir seorang warga lokal yang bermain di pantai yang berlokasi di depan vilanya di Buleleng, Bali berbuntut panjang. Warga yang diusir mengupayakan adanya pembahasan aturan desa.
Kasus ini bermula viralnya video turis mengusir seorang warga lokal yang diketahui bernama Gede Arya Adnyana (31). Peristiwa yang terjadi pada Minggu (21/7) pukul 17.30 Wita itu, Gede Arya tengah bermain di pantai yang lokasi tepat di depan vila yang diinapi si turis mancanegara.
Tiba-tiba, Gede Arya dihampiri anak dari turis. Anak turis itu meminta Gede menyingkir dari pantai tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena pengusiran pas saya mandi di pantai pas sama anak saya dengan alasan pertama sudah menyewa vila itu sekaligus pantainya," kata Gede Arya kepada wartawan, Selasa (23/7/2019).
Dari penuturan Arya, mulanya anak turis itu yang menghampirinya. Namun, tak berselang lama, bapak anak itu datang dan mengusir dengan menggunakan bahasa Inggris.
"Saya pas mandi, anaknya yang datang menghampiri mungkin utusan ibu atau ayahnya pakai bahasa Arab, saya mengerti jangan mandi, sambil menunjuk-nunjuk. Akhirnya saya bilang kalau di sana pantainya kotor. Akhirnya dia balik lima menit bapaknya
dateng dengan nada keras kemudian 'go!', 'gado-gado' dia bahasanya (Arab-Inggris)," terangnya.
Cek-cok antara Arya dengan si turis pun tak terhindarkan. Arya yak terima pantai itu diprivatisasi. Apalagi, dia merupakan warga asli Bali.
"Saya bilang, 'Kamu menyewa vila, silakan, ini pantai milik negara,' kami keras, hampir baku hantam, saya bawa anak akhirnya kita berdebat ayo kita ke kantor desa, dia tidak mau. Silakan bawa orang siapa pun ke sini, saya bawa kelian dusun, kurang-lebih 15 orangan dulu datang. Habis itu dari dalam ada pemuda 1 bawa pisau ditaruh gitu diacungkan cuma sekali, kemudian kelian (perangkat) dusun itu menahan saya, mending cari polisi kalau ada senjata tajam," urainya.
Tak lama, kata Arya, pihak desa mengundang polisi untuk mengamankan situasi. Warga lain juga berdatangan ke lokasi. Negosiasi antara pihak desa, polisi, manajer vila, hingga pemilik berjalan alot.
Arya meminta turis tersebut diusir. Diskusi berlangsung lama. Tapi pada akhirnya, si turis diberi kompensasi satu malam kemudian harus meninggalkan vila yang disewanya.
"Saya tanya ke polisinya tugasnya apa, 'mengamankan massa agar tidak terjadi keributan, tidak bisa mengusir karena yang kuat awig-awig (peraturan desa)'. Negosiasi semua ke manajer vila dan pemilik vilanya, sampai telepon ke kedutaan Arab jalan keluarnya kompensasi satu malam itu. Setelah itu, jam 22.00 Wita itu dia baru keluar dari sana," paparnya.
"Akhirnya karena transaksinya online kemudian dikembalikan uangnya Rp 5 juta akhirnya dia mau pergi dari situ," terang Arya.
Usai kasus tersebut, Arya mempertanyakan status pantai di Desa Temukus, Buleleng, Bali itu dijadikan lokasi private atau tidak. Jika diprivatisasi, menurut Arya, seharusnya ada pajak yang masuk ke desa.
"Kemudian dia memang menyewa, pertanyaan saya berarti jangan-jangan pihak dari vila sudah mempromosikan bahwa itu private beach. Kalau dia mempromosikan itu kan harusnya ada anggaran pajak yang masuk ke desa, saya mempertanyakan itu ke mana itu, tiap bulan atau tahun," tutur Arya.
Kasatpol PP Buleleng Putu Dana memastikan pantai di depan vila tersebut merupakan pantai terbuka.
"Pantai tersebut dipakai tempat bermain oleh masyarakat sekitar, terutama anak-anak, baik pagi maupun sore," kata Putu.
Arya menerangkan pihaknya saat ini bersama warga setempat akan menyusun aturan adat (awig-awig). Aturan ini direncanakan dibuat agar tidak ada lagi pengusiran terhadap warga lokal yang dilakukan turis mancanegara.
"Dari situ saya berpikir kenapa nggak ada awig-awig desa, aparat desa saya hubungi memang tidak ada apa gitu awig-awig itu yang mengkhusus cuma ada perda, karena itu saya berpikir kenapa nggak ada awig-awig desa," kata salah satu warga yang diusir, Gede Arya Adnyana (31), kepada wartawan, Selasa (23/7/2019).
Karena dari pengalamannya itu, Arya bertanya-tanya soal perizinan di hotel-hotel ataupun vila yang berlokasi di tepi pantai. Dia pun mempertanyakan soal perizinan hotel ataupun vila tersebut yang mengklaim pantai sebagai area privat.
"Sampai saya berpikir banyak hotel di Temukus, ke mana arahnya, mungkin dikasih fee, sementara pembangunan timbal balik dari vila itu nggak ada. Kemudian pikiran saya juga kenapa vila atau hotel, banyak kejadian berulang kali, baru terungkap saya ini, tapi beberapa penduduk mengalami seperti itu karena awam, kenapa berani seperti itu," urainya.
"Pikiran saya hotel atau vila itu membayar fee besar ke desa untuk menetapkan bukan publik area kan. Makanya saya telusuri alur pajaknya selama ini," sambung Arya.
Arya kemudian mencontohkan kasus pengusiran petugas pembersih pantai hingga polisi oleh tamu di vila yang berhadapan dengan pantai. Dan, dia baru tahu mayoritas pegawai hotel maupun vila tersebut bukan warga lokal.
"Saya ingin mempertegas peraturan kalau petugas jangan dilarang masuk. Saya juga baru tahu kebanyakan itu pegawai hotel-villa dari luar, saya akan minta prosentase di sini berapa persen warga di sini, semua register tamu tanpa identitas ya pergi takutnya nanti ada kriminal," urai bapak satu anak itu.
Dia mengatakan saat ini pihaknya bersama aparat Desa Temukus tengah berembuk untuk menyusun awig-awig. Dia berharap tak ada lagi kasus pengusiran warga di desanya.
"Saya mau bertemu kepala desa, sekarang kelian desa. Hari ini saya rembukan pembahasan awig-awig, karena kalau kita mengusir orang tak ada dasar kita juga kena pidana. Kemudian rencana dana-dana dari sini dia arahkan ke sana, harus jangan ada tempat privat, saya akan perjuangkan orang di sini sudah mendukung saya biar ke depan nggak ada lagi," urainya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini