"Polisi Tidur" Kasus Novel Baswedan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"Polisi Tidur" Kasus Novel Baswedan

Selasa, 23 Jul 2019 12:23 WIB
Ikhsan Alia
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -

Delapan ratus hari rupanya kurang panjang bagi penegak hukum (baca: kepolisian) untuk mengungkap dalang di balik penyerangan Novel Baswedan. Hingga kini tidak ada satu pun titik terang berhasil dikuak oleh penyidik kepolisian untuk menemukan pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Bahkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel yang dibentuk enam bulan lalu juga berakhir dengan sebuah laporan investigasi yang "lepas makan".

Keadilan yang dipekikkan para pegiat antikorupsi ihwal penyerangan Novel kasusnya kian menahun, namun tak jelas rimbanya. Jamak diketahui, Novel sebelumnya mengalami luka bakar serius di areal wajah dan cacat permanen pada satu bola matanya akibat diserang air keras pada medio April 2017. Kuat dugaan serangan itu ditujukan untuk meredam sepak terjang Novel yang tengah menangani kasus mega-korupsi E-KTP serta kasus simulator SIM yang melibatkan beberapa perwira Polri.

John Girling dalam penelitiannya bertajuk Corruption, Capitalism, and Democracy menasbihkan bahwa perbuatan rasuah sesungguhnya lebih dari sekadar tindak pidana. Korupsi mestilah dimaknai sebagai hasil dari gairah ekonomi, politik, dan sosial yang tidak terbendung oleh bobroknya instrumen penegakan hukum. Tak ayal korupsi menjadi sebuah konsensus sosial yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan. Praktik suap dan jual beli jabatan dipilih sebagai jalur pintas untuk memangkas rumitnya birokrasi pemerintahan serta tarik menarik kepentingan yang terjadi di dalamnya.

Girling menambahkan bahwa kondisi yang dialami negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina adalah antitesis dari Modernization Theory yang dipakai banyak pakar untuk meneliti wabah korupsi. Teori ini menggariskan bahwa proses modernisasi terhadap ekonomi dan sistem politik akan berdampak pada semakin akuntabelnya pemerintahan serta punahnya korupsi. Sayangnya prediksi itu gagal pada negara-negara dengan ekonomi berkembang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kasus Indonesia, Girling justru menemukan korupsi bertransformasi menjadi bahan bakar pembangunan. Rasuah ibarat pelumas yang menjaga agar asap dapur pemerintahan tetap membubul tinggi. Sehingga, jangan kaget jika upaya pemberantasan korupsi acapkali dihadang perlawanan masif koruptor. Sebagai sebuah organized crime, korupsi tidak hanya menyenggol satu orang, tapi ibarat membalik periuk nasi satu kampung. Maka lumrah kiranya jika segala cara menjadi halal di bawah "corruptor fight back".

Konstelasi ini diamini benar oleh KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak berdirinya KPK sudah kenyang dicekoki teror, intimidasi, serta ancaman pelemahan institusi karena tajinya mengungkap kasus-kasus korupsi kakap di Indonesia.

Trias Koruptika

Penyerangan terhadap Novel Baswedan adalah salah satu lekat tangan "trias koruptika" untuk bersama-sama membungkam KPK. Buktinya, laporan TGPF yang disampaikan pada konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, 17 Juli lalu mengungkap bahwa penyerangan tersebut dimotivasi oleh enam kasus high profile yang sedang ditangani Novel. Kasus tersebut di antaranya menyeret perkara rasuah mantan Ketua MK Akil Mochtar dan megakorupsi Wisma Atlet Hambalang yang melibatkan Nazaruddin dan Anas Urbaningrum.

Namun jika kita jeli menyigi, terdapat beberapa kejanggalan dalam laporan investigasi TGPF tersebut. Pertama, sepanjang enam bulan bekerja, laporan investigasi itu gagal mengungkap siapa otak di balik penyerangan terhadap Novel. Peliknya, TGPF seakan-akan menyudutkan KPK dengan menyatakan bahwa motif penyerangan tersebut adalah balas dendam akibat penggunaan kewenangan secara berlebihan oleh Novel Baswedan.

Kedua, dari enam kasus high profile yang ditengarai menjadi asbabun nuzul teror pada KPK itu, tidak satu pun menyebutkan kasus yang melibatkan kepolisian. Padahal, jamak diketahui bahwa pada saat penyerangan itu terjadi, Novel sedang menangani kasus korupsi yang melibatkan beberapa perwira tinggi Polri. Sebut saja kasus korupsi simulator SIM yang menjerat Irjen Pol Joko Susilo.

Belum lagi kasus rekening gendut Komjen Budi Gunawan yang menumbangkan mantan Kepala Biro Pembinaan Karier Polri itu dalam bursa pencalonan Kapolri. Tidak heran kalau kemudian TGPF enggan untuk menggali alibi lebih jauh ke arah kepolisian, sebab notabene tim khusus ini adalah bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Boleh jadi situasi dilematis yang dihadapi Nur Cholis dkk inilah yang menyebabkan TGPF gagal menyingkap kasus teror ini.

Dalam kondisi begini, muskil kiranya untuk mempercayakan keberlanjutan kasus teror terhadap Novel ini semata-mata pada kepolisian. Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk TGPF Independen. Dengan memastikan anggota TGPF Independen ini nantinya tidak diisi oleh institusi kepolisian. Tujuannya adalah untuk mencegah conflict of interest dalam internal tim tersebut dalam memecahkan konspirasi ini.

Namun lagi-lagi persoalannya tidak akan habis di situ. Bagaimanapun, ruang gerak TGPF akan tetap terbatas pada fungsi pro justitia yang tidak dimilikinya. Acapkali laporan TPF mentah di tangan kepolisian dan kejaksaan. Persoalan itulah yang juga dihadapi TGPF Independen pada saat investigasi kasus Munir serta kasus "Cicak versus Buaya".

Satu-satunya jalan adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperluas kewenangan KPK agar dapat menindak pelaku penyerangan Novel melalui pasal menghalangi proses peradilan (obstruction of justice). Jika merujuk pada Pasal 6 huruf c jo Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, definisi obstruction of justice memang masih terbatas pada tindakan yang berhubungan langsung dengan kasus korupsi yang ditangani KPK. Maka dibutuhkan Perppu yang dapat memperluas kewenangan penyidik KPK.

Dengan demikian, maka hasil investigasi TGPF Independen bentukan pemerintah dapat ditindaklanjuti oleh KPK dengan berpijak pada Perppu tersebut. Kini bola panas berada di tangan Presiden Joko Widodo. Respons Jokowi terhadap teror ini adalah penentu komitmennya terhadap perjuangan memberangus "polisi tidur" yang selama ini menjegal agenda pemberantasan korupsi.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads