Dalam acara yang digelar di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (12/7/2019), Tito awalnya berbicara soal Indonesia sebagai bangsa yang besar dan hingga kini masih utuh. Tito meminta semua pihak bersyukur sembari mencontohkan negara-negara yang penuh konflik.
"Coba kita lihat di Afganistan yang sudah merdeka sejak 1917 sampai saat ini masih terjadi konflik perang antara suku dan lain-lain. Negara sebesar Soviet yang memiliki kekuatan militer besar, ekonomi menjadi pecah jadi negara-negara kecil lainnya. Sedangkan kita masih utuh sebagai bangsa, masih menjadi satu di luar permasalahan Timtim yang kasusnya berbeda. Ini hal yang perlu kita syukuri tapi kita tidak boleh take it for granted," imbuh dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tito lalu menyebut harus ada pertanyaan kritis yang diajukan. Pertanyaan itu terkait apakah bangsa ini berpotensi pecah. Dia lalu berbicara soal teori angsa hitam atau black swan theory.
"Pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan... justru kita balik. Adik-adik sebagai sarjana saya paham sudah dilaksanakan wisuda sarjana terapan untuk punya kemampuan scientific, pertanyaannya adalah apakah negara ini punya potensi pecah? Dalam berbagai kesempatan, saya sering mengemukakan bahwa seorang akademisi dan perwira harus mampu berpikir terbalik atau teori black swan thinking, yaitu berpikir teori angsa hitam. Teori ini muncul bahwa ada anggapan semua angsa warnanya putih, tapi ketika muncul angsa hitam maka teori itu patah," beber Tito.
Tito menyebut perwira dan akademisi harus mampu berpikir dengan teori angsa hitam agar tidak menjadi gagap di kemudian hari. Dia lalu berbicara soal serangan 11 September 2001 terhadap WTC, Amerika Serikat (AS).
"Kita sebagai perwira dan akademisi harus mampu berpikir angsa hitam atau berpikir terbalik kalau tidak bisa kita akan gagap ketika ada angsa hitam. Amerika pernah mengalami itu, mereka tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa mereka akan diserang di jantungnya di mainland di 9/11. Sebagai bangsa yang telah merdeka lama, mereka tidak pernah diserang di jantungnya," sebut Tito.
"Serangan 9/11 oleh kelompok teroris Al-qaeda itu langsung menyerang ke tiga jantung kebanggaan mereka, pusat ekonomi di New York. Militer yang dengan bangga sangat aman 1/5 hancur dan pusat politik mereka. Negara sebesar Amerika dengan intel yang kuat bisa diserang di 3 titik kebanggaan mereka oleh serangan teroris. Ini terjadi karena salah satunya berpikir angsa putih. Maka kita juga harus mampu berpikir angsa hitam," pesan Tito.
Selama 74 tahun Indonesia merdeka, Tito menyebut para pihak tidak boleh berpikir kalau semua angsa putih. Bagi Tito, potensi pecah itu ada namun dia berbicara seperti ini bukan karena pesimistis, hanya ke arah antisipatif.
"Saya berpendapat bahwa potensi pecah itu bisa terjadi. Tidak berarti kita pesimis tapi kita perlu antisipatif. Potensi pecah itu bisa terjadi dari faktor internal dan eksternal," sebut Tito.
Tito menyebut Indonesia memang tetap utuh selama 74 tahun, namun belum mampu membuat masyarakat kelas menengah mendominasi. Menurutnya, indikator negara kuat ialah dominasi dari kelas menengah.
"Faktor internal kita benar tetap utuh selama 74 tahun merdeka namun kita harus jujur bahwa kita belum mampu membuat bangsa kita dalam demografinya didominasi kelas menengah. Dominasi kelas menengah indikator negara kuat dan stabil. Negara yang kuat kelas menengahnya mendominasi. Contohnya Singapura. Negara-negara skandinavia, Norway, Finland, Denmark, Sweden, semua didominasi kelas menengah. Amerika, Inggris, New Zealand didominasi kelas menengah. Kenapa? Karena kelas menengah adalah yang terdidik, ekonomi stabil, dewasa berdemokrasi, dan potensi konflik rendah karena kecukupan," ucap Tito.
Sebaliknya, kata Tito, negara yang tidak punya kelas menengah besar atau bahasa lain didominasi kelas bawah akan menjadi rentan. Masyarakat cenderung punya kecemburuan sosial, ketidakpuasan terhadap pemerintah dan mudah terprovokasi serta diadu domba.
"Kita lihat bangsa kita masih didominasi kelas bawah. Ini yang menjadi potensi kerawanan dari sudut pandang internal," ucap Tito.
Tito Karnavian mengatakan kesejahteraan adalah faktor yang sangat penting yang harus dipenuhi pemerintah. Selama 74 tahun, Tito menyebut masih banyak masyarakat kelas bawah dan pengangguran. Antara yang kaya, kaya sekali, yang miskin dan miskin sekali masih tampak. Menurutnya, inilah yang bisa berpotensi memicu isu yang bersifat primordial, keagamaan, ideologi dan perbedaan suku.
Tito lalu berbicara soal faktor eksternal yang bisa memunculkan potensi bangsa ini pecah. Tito menyinggung soal liberalisme dan pihak-pihak yang menyebarkan hoax lewat media sosial.
"Adanya social media muncul semua orang bisa bicara bahkan sampai ke hoax. Inilah fenomena globalisasi kebebasan karena demokrasi dan lahirnya teknologi informasi, termasuk revolusi bidang militer, revolusi ekonomi. Ini kita melihat bahwa sadar atau tidak sadar kita sudah mengadopsi pada demokrasi yang liberal mengarah pada barat. Demokrasi dianggap bagus karena memberikan ruang cek dan balances tidak adanya otoritarian. Tapi di sisi lain, kalau demokrasi itu diterapkan pada masyarakat yang belum siap dengan ditandai besarnya kelas bawah, belum terbentuknya kelas menengah, maka yang terjadi adalah diatorsi demokrasi. Kebebasan menyampaikan pendapat diterjemahkan menjadi aksi jalanan yang," sebut Tito.
Tito menyebut demo yang digunakan untuk menyampaikan pendapat malah diterjemahkan sebagai aksi yang bisa digunakan untuk melakukan tindakan anarkis. Kebebasan berpendapat malah diterjemahkan untuk menyampaikan pencemaran nama baik dan hal-hal merugikan. "Kebebasan berorganisasi, berserikat, ini diterjemahkan untuk membuat ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila," katanya.
Dia mengatakan ideologi Pancasila saat ini makin meredup baik di sekolah maupun lainnya dan ideologi barat yang bukan asli Indonesia--dengan adanya dunia siber--masuk dengan cepat ibarat jalan tol dan langsung menyentuh ke akar rumput. Akhirnya, muncul ideologi yang penuh kekerasan, eksklusif, yang bisa mengancam keberagaman Indonesia yang akan menjadi pengentalan eksklusifisme kelompok-kelompok.
"Ini bisa menjadi potensi konflik antar-anak bangsa. Ini kita melihat bahwa globalisasi berdampak positif pada ekonomi dan pendidikan sistem politik juga oke. Tapi ada juga dampak negatif, misal di bidang budaya," ucap Tito.
(gbr/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini