Dalam 'Diskusi Empat Pilar MPR yang bertema 'Peran MPR Dalam Memperkuat Sistem Presidensial' Karding mengatakan setelah reformasi, banyak terjadi perubahan, yang mana pembagian kewenangan diantara lembaga-lembaga negara lebih berimbang.
"Betapa kekuasaan eksekutif begitu kuat," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (5/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diungkapkan dalam UUD, presiden hanya boleh dijatuhkan oleh beberapa hal, seperti mengkhianati negara, melakukan tindakan korupsi, penyuapan atau tindakan kriminal berat lainnya.
"Di luar isu-isu itu seorang presiden atau wakil presiden tidak bisa diganggu gugat," paparnya.
Ia mencontohkan saat era Presiden Abdurrahman Wahid, begitu mudahnya dijatuhkan kekuasaannya karena isu Bulog Gate.
Untuk itu, menurut Karding pada amandemen dilakukan perbaikan agar seorang presiden tidak boleh menjabat lebih dari dua kali. Perubahan lainnya adalah dulu presiden dipilih oleh MPR, sekarang dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini agar pengejawantahan kedaulatan rakyat bisa terwujud dan presiden terpilih memiliki legitimasi kekuasaan yang kuat.
"Sekarang dikatakan MPR bertugas hanya melantik dan memberhentikan presiden bila terjadi pelanggaran. Untuk memberhentikan Presiden diakui prosesnya panjang, diawali DPR, MK, dan MPR," tuturnya.
Diakui, setelah amendemen, kekuatan (lembaga negara) menjadi imbang. Sebab menurutnya, sebelum amendemen DPR hanya stempel akan tetapi sekarang DPR bisa menyampaikan aspirasi.
"Kelebihan DPR sekarang mempunyai hak legislatif. Sebelumnya rancangan undang-undang dari pemerintah kalau sekarang boleh dari DPR. Jadi pembagian kekuasaan sekarang lebih baik dibanding sebelum amendemen," tegasnya.
Sementara itu, anggota MPR dari Fraksi PAN, Saleh P. Daulay, memaparkan dalam sistem tata negara kita presiden memiliki kewenangan legislasi sampai 50% dalam pembuatan undang-undang. Tak hanya itu, apabila ada kejadian luar biasa, di mana ada sesuatu yang menurut Presiden situasinya adalah kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
Dirinya pun mengingat saat-saat mau mengubah sistem Pemilu lewat Pilkada. Ketika itu, undang-undang sudah hampir jadi di DPR dan semua sudah sepakat namun tiba-tiba Presiden SBY mengeluarkan Perppu, maka batal semuanya. Menurut Saleh, kewenangan Presiden sangat luar biasa yakni bisa membuat undang-undang melalui Perppu.
"Berarti dari sisi legislasi Presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa," tambahnya. Meski demikian, kalau ada penguatan terhadap Sistem Presidensial maka diharapkan harus melihat juga pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan Presiden.
Akademisi dari Universitas Al Azhar, Jakarta, Ujang Komarudin, dalam diskusi tersebut juga menuturkan ada yang menarik dalam Sistem Presidensial. Kekuasaan Presiden yang besar dikatakan membuat parlemen dalam konteks tertentu sulit bekerja sama dengan eksekutif. Besarnya kekuasaan, menurut Ujang juga membuat sulitnya Parlemen mengontrol dan mengawasi presiden.
Dari besarnya kekuasaan yang dimiliki, Ujang menyebut perlu diciptakan kekuatan oposisi atau penyeimbang yang disebut sebagai check and balances. Presiden memang harus kuat namun juga perlu dikontrol oleh Parlemen.
"Dalam masa Orba juga menggunakan Sistem Presidensial namun tidak ada kekuatan penyeimbang," jelasnya.
(prf/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini