Kasus bermula saat dua warga negara Indonesia, BA Ramdhani Saimima dan Khairul Adi Praja menggugat Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23/2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan.
Menurut keduanya, peraturan itu merugikan pemohon karena kedua pemohon merupakan perancang di kementerian lain/bukan di Kemenkum HAM. Keduanya menilai, Permenkum Nomor 23/2018 'mengambilalih' kewenangan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menyatakan permohonan keberatan hak uji materi dari para pemohon tidak dapat diterima," putus MA sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor 15/HUM/2019 yang dikutip detikcom, Jumat (5/7/2019).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Supandi dengan anggota hakim agung Ifran Fachruddin dan Yodi Martono. Menurut majelis, Permenkumham itu merupakan amanat Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undanagn dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pembinannya.
"Ketentuan obyek HUM a quo bertujuan memberi kepastian hukum mengenai pelaksanaan pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan, yang tidak menghalangi hak para pemohon.
Menurut MA, para pemohon tidak (belum) terdapat adanya keterkaitan sebab-akibat yang menunukan akan adanya kerugian baik bersifat potensial, maupun aktual yang akan diderita oleh keduanya.
"MA berpendapat kerugian yang dialami oleh para Pemohon dipandang tidak signifikan dan proporsional dan karenanya legal standing para pemohon tidak dapat diterima," pungkas majelis.
(asp/rvk)