Idris menjelaskan Pancasila sila keempat bermakna bahwa semua proses pengambilan kebijakan selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai, barulah opsi pengambilan keputusan diambil melalui voting oleh perwakilan yang ada di legislatif.
"Selama Orde Baru, praktik ini dilaksanakan, termasuk memilih presiden dan menetapkan haluan negara, yang kita kenal dengan istilah GBHN, sehingga presiden disebut mandataris MPR," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/6/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurut dia, reformasi pada 1998 menuntut reformasi di segala bidang, termasuk reformasi hukum dan demokrasi. Presiden tidak lagi dipilih oleh anggota MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.
Hasil amendemen konstitusi membuat presiden, MPR, DPR, DPD dan beberapa lembaga tinggi negara memiliki kedudukan yang sama, sehingga mereka tidak bisa mengintervensi satu sama lain.
Menurut Idris, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat bermakna ingin memberi legitimasi yang kuat kepada presiden dan wakil presiden. Namun, setelah pilpres dilaksanakan, siapa pun peserta kontestasi seharusnya berlapang dada mendukung presiden dan wakil presiden terpilih.
"Sesuai amanat yang tersirat dalam Pancasila (khususnya sila keempat), dan UUD NRI Tahun 1945. Karena keduanya tidak memberi ruang dan tidak mengatur tentang adanya istilah oposisi," sambungnya.
Baca juga: Nasib Oposisi di Indonesia dari Masa ke Masa |
Dengan begitu, pemerintahan akan berjalan sesuai dengan amanat yang tersirat dalam Pancasila (khususnya sila keempat) dan UUD NKRI 1945, yang keduanya tidak memberi ruang dan tidak mengatur tentang adanya istilah oposisi.
"Indonesia menganut sistem presidensial, yang berarti presiden terpilih, meskipun dipilih oleh mayoritas rakyat, tetap dapat dikontrol oleh legislatif dari fraksi-fraksi yang ada di parlemen, baik yang tergabung dalam koalisi maupun yang tidak masuk dalam koalisi pendukung," jelasnya.
Sebagai informasi, koalisi dibentuk sebagai syarat dukungan untuk mengusung capres/cawapres pada pilpres, namun tidak selalu bersifat permanen karena juga tidak diatur dalam konstitusi.
"Ada yang perlu dipahami bahwa tugas anggota legislatif sesuai amanah konstitusi adalah melaksanakan fungsi pengawasan, penganggaran, dan legislasi," tutur Idris.
Berdasarkan uraian di atas, Idris berpendapat, jika UU Pemilu diubah, yang penting dipertimbangkan bahwa peserta kontestasi pilpres tidak perlu hanya diikuti dua pasangan, termasuk tidak perlu diadakan dua putaran untuk menetapkan pemenang yang mendapatkan dukungan mayoritas.
Tetapi, semakin banyak peserta kontestasi, akan lebih baik dan cukup satu putaran, yang memperoleh suara terbanyak langsung ditetapkan sebagai presiden/wakil presiden terpilih. Hal ini untuk menghindari terbelahnya masyarakat, yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
(mul/mpr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini