Analis komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menilai penindakan hukum tentu menjadi hambatan psikologis rekonsiliasi. Namun demikian, pelanggaran tak boleh dibiarkan.
"Kalau pelanggaran dibiarkan di depan mata, maka akan memantik pelanggaran yang lain. Memang berat rekonsiliasi dengan model berbagai kejadian hukum yang mengikuti, di satu sisi ada wilayah hukum dan di sisi lain ada wilayah rekonsiliasi," kata Gun Gun kepada wartawan, Selasa (28/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mencontohkan, ada Mustofa Nahrawardaya yang dikenal sebagai pendukung Prabowo kini ditahan polisi. Ada pula nama lain misalnya Lieus Sungkharisma. Pelanggaran hukum perlu ditindak, namun pelanggaran yang disangkakan perlu benar-benar terjaga dari pengaruh sentimen perkubuan politis.
"Hanya masalahnya, jangan sampai penangkapan itu berdasar justifikasi politik kelompok, tetapi benar-benar berdasarkan pembuktian," kata Gun Gun.
Penegakan hukum tak boleh main-main. Di sisi lain, rekonsiliasi juga harus segera diwujudkan. Soalnya, publik yang telanjur terbelah oleh pilihan di Pilpres 2019 perlu segera ditangani.
Bahkan saking mendesaknya, rekonsiliasi dipandang Gun Gun tak boleh menunggu putusan MK atas sengeketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan kubu Prabowo-Sandiaga. Putusan MK maksimal diketok hakim konstitusi pada 28 Juni 2019. Menganganya jarak dua kubu harus segera dijembatani lebih cepat dari tanggal itu.
![]() |
"Rekonsiliasi ini menjadi penting supaya menghindari titik didih politik yang bisa menyebabkan kerugian fundamental, misalnya gejala turbulensi seperti kerusuhan 22 Mei kemarin, jangan sampai itu terulang lagi. Menurut saya mulai dari sekarang harus rekonsiliasi, apapun putusan MK, kita butuh politik kebangsaan untuk menyembuhkan keterbelahan publik," kata Gun Gun.
Dia khawatir teori groupthink dari Irving Janis betul-betul terjadi. Teori groupthink menggambarkan keadaan kelompok yang memilih keputusan tidak masuk akal sebagai keputusan bersama. Soalnya, keputusan itu datang dari figur berpengaruh di kelompoknya. Bila anggota kelompok menolak keputusan itu, sekalipun tak masuk akal, anggota itu khawatir terusir dari kelompoknya.
"Kondisi seperti itu bisa berbahaya, apalagi bila kondisi itu dimanfaatkan oleh penunggang gelap," kata Gun Gun.
Peneliti departemen politik dan perubahan sosial dari lembaga CSIS Arya Fernandes punya pandangan soal rekonsiliasi dan perkara hukum "tangkap-menangkap" itu. Menurutnya, aksi penegakan hukum tak berpengaruh signifikan terhadap realisasi rekonsiliasi bila Jokowi dan Prabowo niat menggelar islah politik itu.
"Sukses tidaknya rekonsiliasi ditentukan dua orang yang ada di pucuk, yakni Jokowi dan Prabowo. Keinginan kedua belah pihak ini bisa membuat suasana politik mencair," kata Arya, dihubungi terpisah.
Selain Jokowi dan Prabowo, pra-kondisi rekonsiliasi juga harus dibentuk oleh lingkaran terdekat kelompok pendukungnya, termasuk parpol-parpol yang mendukung Jokowi dan Prabowo.
"Elite-elite kedua kubu juga perlu terus mendorong rekonsiliasi. Rekonsiliasi dalam hal ini tidak harus dibaca apakah akan bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi atau tidak, tetapi bertujuan untuk membuat cuaca politik lebih sejuk," kata Arya.
![]() |
"Rekonsiliasi lebih baik sebelum MK mengumumkan putusan gugatan Pilpres 2019, agar tak ada lagi pergerakan-pergerakan massa," pungkas Arya, mendesak.
Sementara itu, Polri berulang kali memastikan pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan terhadap para tersangka atau terlapor kasus makar, murni merupakan kepentingan penegakan hukum. Jika sudah urusannya penegakan hukum, penanganan perkara tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan lainnya.
Polisi menyatakan dalam tujuh hari belakangan, yakni 21 hingga 28 Mei, aktivitas akun-akun yang menyebarkan konten kebencian, hoax, dan narasi provokatif cukup meningkat.
"Ini berbahaya bila dibiarkan," Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, dalam jumpa pers soal hoax terkait rusuh 21-22 Mei di Media Center Kemenko Polhukam, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2019).
Baca juga: Pilpres 2019: Terkoyaknya Kohesi Sosial |
Dijelaskannya, penyidikan atau penanganan kasus hoax yang dilakukan oleh Direktorat Siber Bareskrim dan Polda Metro Jaya bersifat ultimum remedium (obat terakhir). Sebelum obat terakhir diberikan, sudah ada upaya persuasif yang dilakukan supaya yang bersangkutan berhenti menebarkan hoax dan kebencian via media sosial.
![]() |
"Penegakan hukum yang dilakukan ini merupakan suatu langkah terakhir setelah upaya-upaya secara persuasif," kata Dedi.
Dedi pada 11 April silam juga menegaskan netralitas polisi sudah ditaur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian negara. Polri netral dalam setiap kontestasi politik.
Upaya Rekonsiliasi Pasca-Pilpres, Perlukah? Simak Videonya:
(dnu/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini