Menko Polhukam Wiranto menyebut pemerintah bakal membentuk Tim Hukum Nasional berisi para pakar yang akan mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan tokoh.
"Aparat penegak hukum tidak akan ragu-ragu lagi untuk menindak tegas siapa pun. Menindak tegas siapapun yang melawan hukum yang bertujuan untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu yang sementara ini sedang melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh untuk menuntaskan perhitungan suara dalam finalisasi perhitungan suara Pemilu Serentak di tahun 2019," tegas Wiranto, Senin (6/5).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana pemerintah ini pun menuai kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurut Fadli, rencana pemerintah soal tim yang dibentuk untuk mengkaji ucapan tokoh ini bertentangan dengan konstitusi.
"Wiranto mungkin harus mengubah dulu konstitusi kita. UUD 1945, itu adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan. Berserikat dan berkumpul. Itu dijamin oleh konstitusi kita. Jadi jangan seenaknya bicara seperti itu," kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Terkait rencana soal tim pengkaji ucapan tokoh di Indonesia ini, agaknya kita perlu melihat cara negara-negara lain dalam mengontrol hasutan kebencian.
Pada tahun 2018, pemerintah Arab Saudi sedang merancang aplikasi yang bisa memantau ceramah khatib. Seperti dilansir Arab News, aplikasi tersebut memungkinkan penggunanya untuk memantau khotbah khatib di masjid dan durasinya. Selain itu, Menteri Urusan Agama Islam, Dakwah dan Bimbingan Arab Saudi, Sheikh Abdullatif Al-Asyikh menyebut bahwa alasan dibuatnya aplikasi ini guna membendung paham ekstremis dalam ceramah yang mengarah pada hasutan kebencian.
"Agama bukanlah area untuk memanipulasi pikiran orang, tidak juga untuk mengancam keamanan dan stabilitas negara yang diberkati ini," kata dia.
Lantas di Perancis, pemerintah memberlakukan Undang-Undang terkait hasutan kebencian. Hasutan yang memicu kebencian kepada ras, agama, etnis dan gender termasuk sebagai tindakan kriminal. Pada tahun 2015, seperti dilansir Reuters, Komedian Dieudonne M'bala M'bala ditangkap polisi Perancis, usai membuat lelucon soal Charlie Hebdo. Komedian ini menyebut dirinya merasa seperti 'Charlie Coulibaly' dalam akun Facebook-nya. Lelucon 'Charlie Coulibaly' merupakan permainan kata yang mengkombinasikan slogan 'Je Suis Charlie' alias 'I am Charlie' yang mendunia, dengan nama salah satu pelaku serangan teror, Amedy Coulibaly yang mendalangi penyanderaan yang menewaskan 4 warga Yahudi di Prancis. Lelucon Dieudonne ini dinilai memicu hasutan kebencian terhadap ras tertentu.
Sedangkan di Jerman, pascaperang Dunia Kedua, pemerintah memberlakukan regulasi yang cukup keras untuk membendung hasutan rasisme. Regulasi tersebut berisi soal larangan terkait segala simbol dan retorika ideologi Nazi usai tragedi pembantaian Holocaust. Namun, baru pada tahun 1960, parlemen Jerman secara de facto menyetujui soal hukum hasutan kebencian. Mereka yang menghasut kebencian, memprovokasi kekerasan, atau memfitnah ras tertentu dianggap telah melakukan tindakan kriminal.
Akibat regulasi ini, pada tahun 2017, seperti dilansir BBC, dua turis asal Cina ditangkap di Berlin, Jerman, usai melakukan salam hormat a la Nazi. Dua turis yang diketahui berusia 36 dan 49 tahun ini dinilai telah melakukan hasutan soal Holocaust Nazi.
Namun, di Amerika Serikat (AS) prinsip soal aturan hasutan kebencian berbeda. Hasutan kebencian artinya dipersempit, menjadi 'ujaran yang secara langsung menyebabkan tindakan hukum'. Prinsip ini didasarkan atas putusan Mahkamah Agung AS yang dikenal 'Brandenburg v. Ohio'. Kasus ini menyangkut pemimpin lokal Ku Klux Klan Clarence Bradenburg yang berunjuk rasa di televisi. Clarence menghasut kebencian terhadap orang kulit hitam di Amerika dan keturunan Yahudi. Dia kemudian ditangkap polisi, namun Mahkamah Agung AS justru menilai polisi melanggar hak berpendapat yang dijamin oleh Amendemden Pertama AS.
Tonton juga video Kontroversi Tim Pemantau Sikap & Ujaran Tokoh Ala Wiranto:
(rdp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini